REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kasus pembunuhan yang dilakukan seorang anggota kepolisian di Kabupaten Melawi, Kalimantan Barat dinilai sesuatu yang berada diluar logika kemanusiaan. Bagaimana tidak, oknum tersebut tega membunuh, bahkan memutilasi dua anak kandungnya yang masih berumur 5 dan 3 tahun.
Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Susanto mengatakan tindakan mutilasi yang terjadi di masyarakat sangat beragam dan dipicu oleh berbagai faktor kemungkinan. Pertama, ingin menghilangkan barang bukti atau membuat badan korban susah untuk diidentifikasi. Kedua, faktor temperamental dan agresif.
Ketiga, hanya untuk tujuan tindak kejahatan. Keempat, fetisisme yaitu seseorang melakukan tindakan mutilasi sebagai simbol kegemaran mereka, yang seolah telah melekat pada kepribadiannya.
Lalu, bagaimana dengan kasus oknum polisi tersebut?
"Masih dalam pendalaman, apa motif dan penyebanya sehingga melakukan kejahatan mutilasi terhadap anak kandung sendiri," kata dia kepada Republika.co.id, Ahad (28/2).
(Baca juga: Lemdikpol Harus Tanggung Jawab Soal Kejiwaan Polisi)
Ia pun menegaskan harus ada larangan segala bentuk publikasi mutilasi, baik modus kejahatannya, gerak gerik pelakunya maupun kondisi korbannya. Ia menilai jika dipublikasikan, hal tersebut berpotensi mengganggu tumbuh kembang bahkan diimitasi oleh anak. Apalagi, menurut teori imitasi asal Prancis, Gabriel Tarde (1843-1904) disebutkan masyarakat selalu dalam proses meniru.
"Maka penyebaran kasus mutilasi melalu berbagai media termasuk media sosial harus dihentikan," ujar Susanto.