Rabu 23 Mar 2016 11:23 WIB

Bentrok Angkutan Konvensional Versus Transportasi Online Sudah Diramalkan Sejak 1985

Rep: C21/ Red: Achmad Syalaby
Puluhan sopir taksi memarkir kendaraan mereka saat melakukan unjuk rasa di kantor Dishubkominfo Provinsi NTB, di Mataram, Rabu (23/3).
Foto: Antara/Ahmad Subaidi
Puluhan sopir taksi memarkir kendaraan mereka saat melakukan unjuk rasa di kantor Dishubkominfo Provinsi NTB, di Mataram, Rabu (23/3).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Adanya benturan antara pengemudi taksi dan angkutan konvensional dengan pelaku jasa transportasi berbasis aplikasi disebut sudah diramalkan sejak 1985.

Sosiolog Universitas Indonesia Ricardi S Adnan mengatakan, Francis Fukuyama dalam bukunya, The Great Disruption: Human Nature and the Reconstitution of Social Order, mengungkapkan kemajuan teknologi akan berdampak pada bermacam hal.

"Dengan kemajuan teknologi, akan ada gegar budaya dan gegar berbagai macam hal," kata dia saat dihubungi, Rabu (23/3). Artinya, Ricardi menegaskan, jika masalah semacam ini tidak dapat diatasi secepat mungkin, ke depannya akan berpotensi menghasilkan kerusuhan. Tentu saja, hal tersebut berkaitan dengan adanya aplikasi daring (online) yang digunakan pada transpotasi. 

Ricardi menyarankan agar bahasa pemerintah yang digunakan dapat dipahami berbagai pihak, termasuk juga dalam hal regulasi sistem transportasi yang ada. "Jangan sampai regulasi dan pola pikir yang dibuat masih sama dengan yang lama," kata dia. "Kalau kata pak menteri ini tidak bisa ditutup karena bukan situs porno atau radikal, jadi tidak punya otoritas."

Namun, dia mengatakan, alangkah baiknya jika pemerintah dapat melakukan pengecualian berupa klausal di dalam hukum. Ricardi menerangkan, sopir taksi konvesional berpikir mengapa dirinya dibebankan berbagai macam izin, sementara transportasi daring tidak. Dalam hal ini, sopir taksi konvensional merasa pemerintah mengabaikan dan tidak memedulikan nasib mereka.

Kemudian, karena perasaan kecewa mereka tidak tersalurkan dengan baik, akibatnya para sopir taksi konvensional menjalankan aksi demonstrasi secara anarkistis. Sebab, mereka melihat seolah-olah pemerintah tutup telinga. 

Hal tersebut, kata Ricardi, karena bahasa pemerintah dengan sopir taksi konvensional terkesan tidak masuk. "Ini kan online, berbeda dengan taksi karena online. Lalu, ada orang yang memanfaatkan, inilah komunikasi yang tidak nyambung," kata dia.

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement