Rabu 20 Apr 2016 05:11 WIB

Kedermawaan Zubaidah untuk Jamaah Haji

Rep: c23/ Red: Agung Sasongko
Arafah
Foto: Siwi Tri Puji/Republika
Arafah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pascameninggalnya Khayzuran, Harun al-Rasyid menikah dengan seorang perempuan bernama Zubaida. Ia adalah keponakan dari Khayzuran dan cucu dari al-Mansur.

Zubaida dikenal sebagai seorang yang bersahaja. Ia juga dianggap sebagai perempuan yang pandai berkelakar. Sebab, ia kerap membagi cerita-cerita humor yang pernah didengarnya melalui cerita kakeknya, al-Mansur.

Zubaida juga dipandang sebagai seorang yang berbudi luhur. Di kediamannya, ada sekitar seratus hamba perempuan yang ia beri tugas untuk menghafal Alquran setiap harinya. Lantunan ayat-ayat suci pun selalu menggema di istananya.

Hidup pada masa puncak Kekhalifahan Abbasiah membuat Zubaida memiliki selera dan gaya hidup yang mewah dan eksklusif. Menurut al-Zubayr, melalui bukunya, Book of Gifts and Rarities, yang ditulis pada abad ke-11, biaya pernikahan Zubaida terbilang sensasional, yakni sekitar 50 juta dinar.

Bandingkan dengah biaya hidup rata-rata masyarakat Baghdad kala itu yang hanya sekitar 240 dinar per tahun. "Acara pernikahannya menampilkan sebuah rompi bertatahkan batu rubi dan mutiara untuk pengantin wanita. Para tamu pun menerima hadiah dinar emas dalam mangkuk perak dan dinar perak dalam mangkuk emas," tulis al-Zubayr.

Seorang sejarawan bernama al-Masudi juga mengungkapkan, Zubaida memiliki selera mode yang agung. "Pada acara-acara kenegaraan, dia hampir tidak bisa berjalan karena beban perhiasan dan gaun yang dipakainya sehingga ia harus disanggah oleh pegawai kerajaan," kata al-Masudi.

Namun, di tengah gaya hidup mewahnya, Zubaida tak segan menggelontorkan hartanya untuk membangun infrastruktur yang memiliki maslahat untuk masyarakat umum. Pada titik inilah, nama Zubaida terkenal dan dikenang hingga detik ini.

Salah satu bukti kedermawanan Zubaida adalah dibangunnya saluran air yang membentang ribuan kilometer dari Irak ke Padang Arafah di Makkah. Melintasi bukit batu, bukit pasir dan pegunungan yang menjulang tinggi, saluran air ini dibangun menyusul keprihatinan Zubaida saat menunaikan ibadah haji di Makkah. Kala itu, ia menyaksikan banyak jamaah haji yang kepanasan, kehausan, bahkan sampai meninggal dunia kala melaksanakan wukuf di Arafah lantaran minimnya sumber air.

Zubaida yang memiliki nama asli Amatul Aziz binti Ja'far bin Abi Ja'far al Manshur membangun saluran air itu pada 791 M. Kala itu, para insinyur Abbasiyah sempat memperingatkan Zubaida tentang besarnya biaya dan hambatan teknis untuk merampungkan proyek tersebut. Namun, peringatan itu hanya dianggap angin lalu.

Maka, demi terwujudnya saluran air yang sangat bermanfaat bagi jamaah haji itu, Zubaida rela menyumbangkan berton-ton emas. Dan benar saja, saluran air yang diimpikan Zubaida pun terwujud.

(Baca: Khayzuran dan Kejayaan Kekalifahan Abbasiyah)

Pada 1571 M, tepatnya pada masa Kekhalifahan Utsmaniyah, saluran air ini direnovasi oleh lebih dari seribu pekerja. Saluran air ini dipertemukan dengan mata air Khunsin yang berada di sekitar kantor gubernur Makkah. Belakangan, setelah banyak mata air lain ditemukan di Makkah, saluran air Zubaida mulai tidak dimanfaatkan oleh penduduk dan jamaah di Tanah Suci. Meski demikian, jasa dan akhlak mulia Zubaida tetap dikenang dan tak lekang oleh masa.

Selain proyek saluran air, Zubaida juga membangun jalan sepanjang 1.500 km yang terbentang dari Kufah di selatan Baghdad menuju Makkah. Rute itu dilengkapi dengan stasiun-stasiun pengisian air serta menara api di puncak bukit untuk memberi penerangan kala malam tiba. Melihat kiprah Zubaida, tak berlebihan jika sejarawan Islam kontemporer al-Azraqi mengatakan bahwa orang-orang Makkah dan para jamaah haji berutang budi kepada sang permaisuri. n c23 ed: wachidah handasah

Keputusan Pahit Berbuah Manis

Berbeda dengan Khayzuran, kiprah Zubaida dalam bidang pemerintahan mendapat simpati dan apresiasi. Sejarah mencatat, pada 813 M, ia menunjuk anak tirinya, al-Ma'mun, untuk menjadi khalifah. Sebab, anak kandungnya sendiri, yaitu al-Amin, terbukti berbuat korup.

Keputusan yang sejatinya terasa pahit bagi Zubaida ternyata berbuah manis. Al-Ma'mun terbukti mampu menjadi pemimpin yang adil dan menyejahterakan rakyat. Ia juga menginisiasi pembangunan Bayt al-Hikmah (Rumah Kebijaksanaan). Tempat prestisius ini merupakan pusat penerjemahan literatur-literatur klasik dari Yunani, Romawi, dan lainnya ke bahasa Arab. Tak hanya berguna bagi pengembangan iklim intelektual di lingkungan Kekhalifahan Abbasiyah, karya-karya yang lahir dari Bayt al-Hikmah juga menjadi dasar bagi lahirnya Renaisans Eropa.

Zubaida mengakhiri kiprah panjangnya yang bermanfaat bagi umat setelah wafat pada 831 M. Meski terlahir sebagai perempuan, Zubaida telah membuktikan bahwa wanita pun tak hanya pandai mengurus keluarga, tapi juga ikut andil, bahkan memelopori pembangunan yang bermanfaat bagi umat dan rakyatnya. 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement