Selasa 26 Apr 2016 18:15 WIB

Ini Masukan KPU untuk DPR Dalam Revisi UU Pilkada

Rep: Eko Supriyadi/ Red: Bayu Hermawan
Juri Ardiantoro
Foto: Antara
Juri Ardiantoro

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisioner KPU Juri Ardiantoro mengatakan, seharusnya kepentingan penyelenggara negara untuk merevisi UU Pilkada, dilakukan secara menyeluruh untuk menghasilkan UU baru yang lengkap dan detail.

Tapi karena revisi ini lebih kepada evaluasi Pilkada serentak sebelumnya, dan untuk Pilkada 2017, maka yang direvisi poin yang dianggap penting.

Proses revisi UU tersebut, kata Juri, otomatis akan mempengaruhi penjadwalan Pilkada serentak 2017. Tetapi, sepanjang UU perubahan itu belum selesai, maka UU sekarang jadi rujukan untuk Pilkada 2017. Pilkada tetap bulan Februari.

Ia menyatakan, KPU hanya pengguna UU tidak punya kewenangan dan keinginan untuk masuk dalam proses revisi, meski punya kepentingan untuk memberikan informasi.

''Di dalam memberikan pandangan, kami membatasi diri untuk tidak masuk yang terkait dengan kontestasi seperti berapa persen dukungan calon perseorangan,'' katanya Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (26/4).

Menyangkut bagaimana menempatkan revisi UU dalam kaitannya pengaturan dengan UU lembaga lain seperti mundur atau tidaknya pejabat negara, hal itu polemik. Meski UU Pilkada mengatur umum, bahwa setiap warga negara punya hak untuk dipilih.

Tapi masing-masing institusi punya UU sendiri yang mengatur anggotanya seperti UU ASN, UU TNI, dan UU Polri. Ia menilai mestinya ketiga UU itu disingkronkan dengan UU Pilkada.

''Kalau hanya mengatur siapa saja boleh dan melihat UU sektoral akan menjadi problem di lapangan,'' ujarnya.

Sebab, dalam beberapa kasus, banyak pihak yang mengacu UU Pilkada jika ada PNS yang mencalonkan diri. Mengenai calon Independen, lanjut mantan ketua KPU DKI Jakarta itu, dalam verifikasi calon independen jangan sampai abal-abal. Verifikasi harus dilihat dari sisi metodologinya yang bisa dipertanggungjawabkan.

Ia mengungkapkan, yang jadi kelemahan dari verifikasi saat ini adalah sumber datanya. Disinyalir, calon perseorangan mendapatkan KTP tidak melalui jalur yang benar seperti dari Samsat, Leasing maupun bank.

Masalahnya, KPU tidak punya kewenangan mempertanyakan dari mana mendapatkan KTP. Yang dipertanyakan KPY adalah apa benar yang bersangkutan mendukung atau tidak. Kalau berbeda maka akan langsung diverifikasi.

''Jadi tidak ada pilihan KPU menolak dukungan. Jadi mau tidak mau ketika ditanya akan menjawab mendukung. Yang rumit adalah, ketika tidak mendukung, tapi tidak mau menandatangani surat pernyataan tidak mendukung. Kalau tidak tandatangan nanti bisa digugat sama calon,'' jelasnya.

Masalah selanjutnya menurut KPU, terkait soal anggaran. Sumber anggaran selama ini masih belum jelas apakah dari APBN atau APBD. Dalam UU mengatakan anggaran Pilkada berasal dari APBD dan dibantu APBN.

''Tapi di pemerintah belum clear. Ini bukan perkara mudah. Ada beberapa daerah yang masalah anggaran dipolitisasi oleh incumbent. Kadang besaran itu jadi alat tawar menawar,'' ucapnya.

Selain itu, Kementrian Dalam Negeri yang membawahi kepentingan daerah, ingin anggaran yang dari APBN sifat hibah. Sementara Kementerian Keuangan, dana tersebut ingin dana itu bersifat swakelola.

''Mereka tidak satu suara sampai sekarang. Kalau anggaran pilkada dalam bentuk hibah maka standarnya harus sama seluruh Indonesia. Masalahnya setiap daerah punya keunikannya masing-masing,'' jelasnya lagi.

Juri juga mengungkapkan, berdasarkan fakta, Pilkada 2015 itu sepi. Hal itu disebabkan karena dalam UU Nomor 8 Tahun 2015, debat publik dan iklan ditanggung penyelenggara.

Oleh karena itu, untuk lebih meriah, calon perlu alat peraga untuk memperkenalkan diri, sehingga perlu ada ruang untuk membuat alat peraga. Alat peraga itu nantinya bisa dikontrol oleh penyelenggara, sehingga bisa diserahkan kepada calon.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement