REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - PT Perusahaan Listrik Negara (persero) akan mengkaji kembali keekonomian proyek kabel bawah tanah atau HVDV (high voltage direct current) yang akan mentransmisikan listrik dari pembangkit mulut tambang di Sumatera menuju ke Jawa. Hal ini menyusul keputusan pemerintah bersama dengan PLN dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2016 - 2025 yang di dalamnya juga mengatur keberlanjutan proyek kabel listrik bawah tanah.
Manajer Senior Hubungan Masyarakat PLN Agung Murdifi menjelaskan bahwa pihaknya menilai keekonomian proyek kabel bawah laut perlu dilakukan lantaran perencanaannya sudah dilakukan pada satu dekade lalu. Kondisi saat ini, lanjutnya, dinilai sudah jauh berbeda sari segi keekonomian. Perhitungan ini dengan mempertimbangkan berbagai variabel termasuk harga minyak dunia dan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
"Iya tentu kita tahu bahwa HVDC direncanakan sudah lama. Tentunya PLN harus melihat, untuk saat ini keekonomisannya gimana. HVDC kan direncanakan sudah lama ya sejak 2006. Melihat perkembangannya sekarang kami harus meninjau kembali," kata Agung saat ditemui usai acara buka bersama anak yatim oleh PLN di Jakarta Convention Center, Kamis (16/6).
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menilai, bukan ranah PLN untuk lantas memutuskan apakah proyek kabel bawah laut bakal berlanjut atau tidak. Kepala Pusat Komunikasi Publik Kementerian ESDM Sujatmiko menyebutkan, sesuai dengan kesepakatan dalam RUPTL 2016-2025, maka PLN memiliki kewajiban melanjutkan proyek ini.
"Nah apabila dalam pelaksanaan proyek PLN memerlukan dukungan maka dapat dikomunikasikan dengan penanggung jawab sektor," ujarnya.
Sujatmiko menyebutkan bahwa proyek kabel bawah laut yang menghubungkan Sumatera dan Jawa tidak bisa hanya dilihat dengan cara pandang yang melekat kondisi sesaat saja. Menurutnya, proyek HVDC menjadi sangat penting bila melihat proyeksi kebutuhan listrik di Jawa dan Sumatera di masa yang akan datang.
Sebelumnya, pemerintah memutuskan porsi EBT dalam bauran energi pembangkit sebesar 25 persen pada 2025 dengan catatan apabila target porsi EBT 25 persen tanpa memasukkan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) tidak tercapai, maka dapat dipertimbangkan penggantian dengan energi gas atau energi bersih lainnya. Selain itu, menurut Sujatmiko, poin penting revisi RUPTL PLN 2016-2025 yang sudah disahkan Menteri ESDM adalah porsi batubara berubah menjadi 50 persen dari semula 55,5 persen.