Sabtu 25 Jun 2016 22:05 WIB

Jerman dan Prancis Desak Inggris Segera Urus Pemisahan dari UE

Menteri Luar Negeri Jerman Frank-Walter Steinmeier
Menteri Luar Negeri Jerman Frank-Walter Steinmeier

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Jerman dan Prancis memimpin desakan agar Inggris segera merundingkan proses pemisahan dari Uni Eropa (UE), Sabtu (25/6).

Paris memperingatkan, jika tidak, populisme (paham yang menjunjung tinggi hak rakyat kecil) akan mulai memunculkan pengaruhnya setelah hasil referendum yang mengejutkan dunia.

Bank Sentral Eropa menambah tekanan tersebut dengan mengatakan industri keuangan Inggris, yang mempekerjakan 2,2 juta orang, akan kehilangan haknya melayani para pelanggan di UE. Kondisi itu bisa dihindari jika Inggris mendaftarkan diri ke pasar tunggal UE.

Keputusan Inggris meninggalkan UE, kelompok dengan perdagangan terbesar di dunia, menjadi pukulan terbesar sejak Perang Dunia terhadap upaya Eropa membina kesatuan yang lebih luas. Di Inggris sendiri, perpecahan kian luas setelah hasil referendum pada Kamis memutuskan Inggris keluar keanggotaan Uni Eropa.

Baca: Dubes Inggris Enggan Tanggapi Referendum Skotlandia

Menteri pertama Skotlandia mengatakan ia ingin membuka perundingan secara langsung dengan Brussels, ibu kota negara Belgia yang menjadi tempat keberadaan markas besar Uni Eropa. Ia mengatakan pilihan untuk referendum kedua bagi kemerdekaan harus menjadi pembahasan.

Perdana Menteri David Cameron mengumumkan, Jumat (24/6), ia akan mengundurkan diri setelah rakyat Inggris dengan perbandingan suara 52-48 persen memilih keluar dari Uni Eropa. Hasil referendum itu membuat pasar modal global jatuh dan mengakibatkan mata uang Inggris, poundsterling, dalam satu hari jatuh dengan nilai paling buruk dalam sejarah.

Cameron berjanji untuk tetap menjadi pelaksana perdana menteri hingga Oktober, yaitu ketika Partai Konservatif memilih pemimpin baru. Cameron mengatakan terserah pada penggantinya nanti untuk memberi tahu Uni Eropa secara resmi bahwa Inggris ingin keluar dari EU, berdasarkan Traktat Lisabon.

Traktat itu memberi waktu dua tahun bagi negara anggota untuk menjalankan proses pemisahan.

Para pemimpin Eropa menerangkan kemungkinan adanya ketidakpastian selama berbulan-bulan, sebelum pembicaraan bisa dimulai, dan hal itu tidak dapat diterima oleh ke-27 negara anggota EU.

"Proses ini harus dijalankan sesegera mungkin sehingga kita tidak dibiarkan tanpa kepastian, sebaliknya supaya kita bisa memusatkan perhatian pada masa depan Eropa," kata Menteri Luar Negeri Jerman Frank-Walter Steinmeier.

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement