REPUBLIKA.CO.ID, MANILA -- Ada dua hal yang menarik perhatian di kantor Joselito Esquivel, seorang kolonel polisi yang bertugas dalam penanganan obat-obatan terlarang di distrik yang paling penuh dengan kejahatan di Filipina. Di ruang kerjanya, terdapat sepasang sarung tinju serta senapan api jenis M4.
"Ini adalah perang habis-habisan," ujar Esquivel, Rabu (29/6).
Pria yang merupakan petugas kepolisian untuk Kota Quezon itu diberi wewenang penuh membunuh siapa pun tersangka pengedar narkoba. Hal ini dipertegas oleh Presiden Filipina yang baru terpilih bulan lalu, Rodrigo Duterte. "Duterte telah memberi wewenang dan dukungan penuh untuk melaksanakan operasi besar-besaran ini," jelas Esquivel.
Duterte telah bersumpah membasmi segala bentuk kejahatan terkait narkotika di Filipina. Ia mengatakan kejahatan itu harus dibasmi dalam waktu selambat-lambatnya enam bulan.
Meski demikian, langkah Duterte ini memberi kekhawatiran bagi sejumlah pihak, khususnya lembaga-lembaga Hak Asasi Manusia (HAM). Ketua komisi HAM di negara itu Chito Gascon mengatakan hal ini menimbulkan rasa impunitas di kalangan polisi.
Aparat yang berwajib akan berpikir mereka bisa melakukan apa pun selama itu bertujuan membasmi kejahatan. Dalam hal ini, termasuk tindakan sewenang-wenang yang tentu melanggar HAM. "Mereka akan berpikir saya memiliki Duterte di belakang," ujar Gascon.
Setidaknya, sejak Duterte terpilih dari hasil pemilihan umum (Pemilu) yang diumumkan 9 Mei lalu, satu orang telah ditembak mati oleh polisi. Pada Kamis (30/6), Duterte secara resmi menjadi Presiden Filipina. Ia akan memimpin negara itu dengan masa jabatan selama enam tahun.
Duterte melihat aksi penembakan terhadap terduga pengedar narkoba adalah sesuatu yang membanggakan. Bahkan, ia memberi selamat secara khusus pada petugas polisi yang melakukan tindakan dan memberi hadiah uang sebesar 6.000 dolar AS.
Kritik keras datang dari banyak pihak, dalam hal ini Gascon mengatakan, termasuk pemimpin Gereja Katolik Roma dan masih banyak kelompok pembela HAM lainnya. Langkah Duterte yang dinilai sebagai bentuk tindakan main hakim sendiri bisa memicu meluasnya kekerasan di Filipina.
"Apa yang akan kita lihat bukanlah penegakkan hukum, namun pelanggaran hukum disertai rasa takut," jelas Gascon.