REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Restorasi Gambut (BRG) menargetkan revisi akhir peta indikatif restorasi gambut skala 1:250 ribu pada akhir Juli 2016. Revisi final nantinya telah memasukkan sejumlah penyesuaian kawasan yang tumpang tindih dengan areal pangan.
Peta juga akan mengakomodasi saran dari sejumlah stakeholder terkait peristilahan dan detail areal penanganan lahan. Pemetaan dijamin tidak akan mengganggu luasan areal produksi pangan di masyarakat.
"Justru kita akan memperkuatnya dengan melakukan penataan air, sehingga fungsi lindung tetap terjaga," kata Deputi bidang Perencanaan dan Kerja Sama BRG Budi Wardhana dalam Konferensi Pers terkait tindak lanjut masukan dan saran dari berbagai kalangan untuk peta restorasi gambut di Indonesia, Jumat (1/7).
Penanganan bagi areal gambut di lahan pangan masyarakat akan diarahkan pada bantuan teknis tata kelola air. Hal itu dinilai tidak berkaitan dengan budidaya sebab masyarakat sudah menerapkannya sejak turun-temurun. Jika perlu akan dilakukan pengembangan infrastruktur dan pengembangan teknik pemanenan hasil produksi agar lebih memudahkan masyarakat.
Budi menegaskan, restorasi gambut di lahan pangan juga akan didesain tidak mengganggu proses budidaya, sebab keduanya bisa berjalan berbarengan. Koordinasi lebih lanjut soal teknis restorasi tersebut akan dilakukan bersama BRG Daerah.
Hingga akhir tahun, BRG telah merancang rencana kerja yakni menghasilkan peta kerja berdasarkan sejumlah klasifikasi. Itu di antaranya terdiri dari peta dengan skala 1:250 ribu yang menggambarkan hamparan kerja secara keseluruhan.
"Akan disusun pula peta skala 1:50 ribu untuk menetapkan kawasan dengan fungsi lindung atau rezonasi," tuturnya. Peta selanjutnya yakni 1:10 ribu yang akan menjadi acuan untuk penanganan pola pemanfaatan lahan pertanian, infrastruktur dan konsesi kanal. Selain itu, mereka akan menyusun detail engineering design guna mendukung pekerjaan teknis konstruksi instalasi pembasahan gambut.
Koordinator Nasional Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) Deni rahadian menyebut, terjadi overlapping kawasan pangan dengan peta indikatif restorasi yang disusun BRG. Makanya, peta tersebut harus segera direvisi menyesuaikan dengan segala masukan baru.
"Terutama di Pulang Pisau, terdapat 70 persen wilayah yang tumpang tindih dengan areal milik adat, sisanya wilayah desa dan wilaya kelola lain yang digunakan masyarakat sebagai dasar skema perhutanan sosial," tuturnya. Selain itu, dia menyebut ada tumpang tindih dengan perencanaan masyarakat dalam level mikro yang nantinya dijadikan rujukan rencana tata ruang wilayah.
Dari hasil pemetaan partisipatif tersebut, JKPP mencatat di Jambi terdapat sekitar 27 ribu hektare yang tumpang tindih dengan lahan masyarakat. Secara keseluruhan ada total 881 ribu hektare yang tumpang tindih.
Selama tiga bulan, JKPP juga telah memetakan lahan pangan di masyarakat di dalam wilayah prioritas. "Dari lahan yang dipetakan di Pulang Pisau seluas 89 ribu hektare, ada yang eksisting tumpang tindih seluas 12 ribu hektare," ujarnya.
Ia pun merekomendasikan agar peta indikatif dapat direvisi sebelum Juli 2016 berakhir. Ia juga menilai perlu dilakukan verifikasi faktual di wilayah-wilayah kelola masyarakat yang tumpang tindih dengan wilayah prioritas restorasi gambut.