REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peresmian Masjid Agung Lisabon kala itu dihadiri oleh presiden Portugal, perdana menteri, pejabat sipil, dan militer serta diplomat dari negara-negara Islam. Masjid ini dibangun atas bantuan dari sejumlah negara Islam, antara lain Arab Saudi, Kuwait, Uni Emirat Arab, Libya, Pakistan, Lebanon, Oman, Mesir, Yordania, dan Iran.
Umat berharap, keberadaan masjid itu akan mempererat hubungan antaragama di Portugal. Dengan demikian, toleransi umat beragama bisa lebih ditingkatkan di masa mendatang. Periode tahun 80 sampai 90-an bisa dikatakan menjadi masa-masa penuh harmoni dalam kehidupan masyarakat di Portugal. Umat Islam dan umat agama lain bisa melaksanakan peribadatan dengan leluasa.
Masjid, mushala, dan sekolah Islam pun banyak didirikan. Portugal lantas memiliki dua masjid jami dan 17 mushala, sebagian besar terletak di Lisabon, Coimbra, Filado, Evoradi, dan Porto. Sekolah Dar al-Ulum al-Islamiyyah melengkapi sarana pendidikan di Lisabon. Sekolah ini setingkat dengan sekolah menengah pertama dan menengah atas.
Di samping itu, sejumlah masjid dan mushala turut membuka kelas halaqah tahfiz Alquran al-Karim, bahasa Arab, dan ilmu-ilmu Islam. Kaum Muslim juga menerbitkan sejumlah jurnal berbahasa Portugal dan berbahasa Arab seperti majalah Islam.
Pada milenium baru, kondisinya berubah 180 derajat. Peristiwa 11 September 2001 di Amerika Serikat (AS), berimbas terhadap umat Islam di seluruh dunia, tak terkecuali di Portugal. Harmonisasi terusik. Hal itu bukan disebabkan pembatasan-pembatasan dari pemerintah, melainkan dari sikap sebagian warga setempat yang mengaitkan Islam dengan kekerasan.
Sebuah kolom dalam surat kabar The Public agaknya bisa mewakili suasana Islamofobia yang sedang melanda. Tulisan Dr Miguel Sousa Tavares, cendekiawan setempat, misalnya, memuat judul yang dinilai provokatif: "Islam, Terror and Lies".
Tokoh lainnya tak jarang mengeluarkan pernyataan yang mengarah pada intoleransi. Awal tahun 2009, seorang pemimpin agama di Lisabon sempat memicu kontroversi baru atas komentarnya terkait perkawinan antara Muslim dan non-Muslim.
Dia menyarankan agar wanita non-Muslim berpikir dua kali sebelum menikah dengan pria Muslim. ''Anda hanya dapat berdialog dengan orang yang bersedia berdialog. Dengan umat Muslim, dialog sulit dilakukan,'' kata pemimpin agama ini.
Sejumlah kelompok hak asasi manusia memberikan kecaman. Mereka menilai pernyataan itu tidak sejalan dengan semangat toleransi antarumat beragama yang sedang terus dibina. Demikian halnya, umat Islam mengaku terkejut dengan komentar itu. Namun, umat tidak lantas bereaksi berlebihan. Mereka justru memilih menanggapi tudingan, stigma, dan kekhawatiran seperti itu tanpa emosi.
Menggiatkan dialog lebih diutamakan. Forum intelektualitas tersebut akan sangat berperan dalam upaya memberikan penjelasan tentang nilai-nilai maupun ajaran Islam yang sebenarnya. Salah satunya seperti dilakukan majalah Al Furqan. Lewat tulisan Mohammed Youssuf Adamqy, pimpinan Al Furqan, misalnya, mereka menjadikannya surat terbuka untuk menjawab artikel The Public tadi.
Menurut Mohammed Youssuf, peristiwa pengeboman yang terjadi, haruslah dilihat secara orang per orang, dan jangan langsung digeneralisasi bahwa Islam adalah agama teror. Sebaliknya, dia mengungkapkan bahwa inti ajaran Islam justru menekankan cinta kasih.
Dan, Muslim Portugal kini terus berjuang guna menepis citra negatif Islam. Pesan-pesan penuh kedamaian serta yang menjauhkan agama dari tindakan teror, bisa ditemui di masjid-masjid dan Islamic Center di Portugal.