Selasa 26 Jul 2016 14:46 WIB

Kemacetan Pukul Bisnis Hotel di Garut

Rep: Fuji E Permana/ Red: Nur Aini
Kamar hotel berbintang/ilustrasi
Foto: pixabay
Kamar hotel berbintang/ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, GARUT -- Wisatawan yang berkunjung dan menginap di Kabupaten Garut saat libur Lebaran tahun ini menurun. Menurunnya wisatawan mengakibatkan jumlah unit hotel yang sudah dipesan dan dihuni (okupansi) menurun 20 persen.

Humas Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Kabupaten Garut, Janur M Bagus mengatakan, ada beberapa faktor yang diindikasi menjadi penyebab menurunnya okupansi hotel. Salah satu faktor penyebabnya isu kemacetan. Banyak isu kemacetan di ruas jalan utama menuju Garut.

"Ada beberapa wisatawan yang tiba-tiba membatalkan kunjungannya," kata Janur kepada Republika.co.id, Selasa (26/7).

Janur mengatakan, ada beberapa wisatawan menarik uang yang sudah dibayarkan untuk pemesanan kamar hotel. Kemungkinan mereka tidak mau terjebak kemacetan terlalu lama yang akan mempersingkat waktu liburan mereka di hotel. Sehingga mereka membatalkan pemesanannya.

Saat menjelang dan sesudah Lebaran terjadi kemacetan di wilayah Garut kota. Ruas jalan menuju beberapa lokasi wisata dipadati arus kendaran. Kemacetan mungkin menjadi kekhawatiran wisatawan. Akibatnya jumlah wisatawan menurun, sehingga okupansi hotel pun ikut menurun. "Dibanding tahun lalu ada penurunan okupansi sekitar 10 sampai 20 persen," ujar Janur.

Menurut data PHRI, saat musim libur Lebaran 2015 okupansi hotel 95 persen. Musim libur Lebaran tahun ini okupansinya menurun 10 sampai 20 persen dari tahun lalu.

Janur mencontohkan, satu hari sebelum Lebaran tahun ini pemesanan hotel masih kosong. Padahal, satu hari sebelum Lebaran tahun lalu pemesanannya sudah penuh. Hal seperti inilah yang dijadikan ukuran PHRI dalam menilai menurunnya okupansi hotel.

Saat musim libur Lebaran juga ada isu soal mahalnya tarif masuk ke objek wisata Gunung Papandayan, Kabupaten Garut. Isu tersebut di media sosial menjadi viral, sehingga terbentuk opini Kabupaten Garut menjadi kota termahal. Hal ini pun sedikitnya akan berpengaruh pada penurunan jumlah wisatawan.

Padahal, menurut Janur, faktanya kenaikan tarif hotel dan restoran masih dalam ukuran yang wajar. Namun, karena isu mahalnya tarif di objek wisata Gunung Papandayan, seolah-olah semua sektor menjadi mahal.

"Tapi secara fakta kami di PHRI telah meyakinkan semuanya bahwa tidak ada peroses kenaikan tarif yang melebihi batas wajar," ujar Janur.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement