REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto meminta tudingan sejumlah pihak atas keterlibatannya dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia, dibuktikan dengan jelas.
"Isu-isu HAM mengenai saya, saya mengharapkan harus jelas locus, tempus, delicti-nya. Di mana dan kapan, di mana keterlibatan saya. Saya akan jelaskan satu persatu," ujarnya usai upacara serah terima jabatan Menko Polhukam di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Kamis (28/7).
(Baca juga: Ryamizard: Wiranto Sudah Berubah)
Penunjukan Wiranto menjadi Menko Polhukam oleh Presiden Joko Widodo di Jakarta, Rabu (27/7), menuai kecaman dari berbagai pihak. Panglima ABRI/TNI periode 1998-1999 itu dianggap bertanggung jawab atas sejumlah praktik pelanggaran HAM berat berdasarkan sejumlah laporan Komnas HAM.
Beberapa peristiwa tersebut adalah Tragedi Trisakti, Mei 1998, Semanggi I dan II, penculikan dan penghilangan aktivis prodemokrasi 1997/1998, serta peristiwa Biak Berdarah.
Selain itu, menurut Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) catatan penting lain terkait Wiranto adalah ketika namanya disebut-sebut di dalam sebuah laporan khusus setebal 92 halaman yang dikeluarkan oleh Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di bawah mandat Serious Crimes Unit.
Di tengah berbagai kecaman yang menyudutkannya, Wiranto justru menyatakan akan melanjutkan langkah-langkah penyelesaian kasus HAM berat masa lalu, yang sebelumnya dirintis mantan Menko Polhukam Luhut Binsar Pandjaitan.
Pernyataan tersebut merujuk pada pembentukan tim kajian atas rekomendasi Simposium Peristiwa 1965, di mana ratusan ribu rakyat Indonesia menjadi korban pembantaian massal anti-Partai Komunis Indonesia (PKI), juga tim terpadu yang bertugas menyelesaikan kasus pelanggaran HAM di Papua.
"Pak Luhut sudah melakukan langkah-langkah untuk menyelesaikan masalah HAM masa lalu, saya akan lanjutkan secara adil, transparan, dan bermartabat. Tapi jangan merugikan kepentingan nasional, kepentingan nasional tetap nomor satu," kata Wiranto.