REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Langkah Polda Riau mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) terhadap 15 perusahaan yang diduga melakukan pembakaran hutan menuai berbagai kritikan. Namun, menurut pengamat Hukum Tata Negara Universitas Parahyangan Bandung, Asep Warlan Yusuf, langkah yang ambil oleh Polda Riau wajar dilakukan, sebab kurang cukupnya bukti yang ada.
"Pembuktian yang dilakukan kementerian LHK kurang kuat, karena pembuktiannya memang tidak mudah. Susah. (SP3) jadi mungkin wajar," kata Asep, Jumat (29/7).
Kendati demikian, ia juga tak menutup kemungkinan adanya tekanan dari pihak lain atau permainan uang terkait penerbitan SP3 ini. Ia pun mendukung dilakukannya evaluasi baik di internal kepolisian dalam mengeluarkan SP3 serta di kementerian. Evaluasi juga perlu dilakukan dengan melibatkan berbagai pihak termasuk aparat dan ahli.
"Jangan-jangan SP3 muncul karena ada tekanan, ada permainan uang atau buktinya dihilangkan. Tapi memang SP3 itu bisa dikeluarkan karena bukti-bukti yang tidak kuat," ucapnya.
Sebelumnya, Kabareskrim Polri Komjen (Pol) Ari Dono Sukmanto menyebutkan terdapat tiga alasan kasus tersebut tak dilanjutkan. Alasan pertama, menurutnya adalah karena lokasi yang terbakar itu sebenarnya bukan masuk areal dari ke-15 perusahaan tersebut, karena sudah dilepaskan. Kedua, karena lahan yang terbakar masih sengketa.
"Ada satu lagi, di lokasi yang terbakar, perusahaan sudah berupaya melakukan pemadaman dengan fasilitas sarana pemadaman yang sudah diteliti menurut keterangan ahli, itu tidak ada unsur kesengajaan atau kelalaian," kata Ari, Selasa (26/7).
Ari melanjutkan, pemberian SP3 kepada 15 perusahaan tadi tidak bisa dianggap terlalu cepat. Sebab, kasus pembakaran hutan tersebut sudah ditangani Polda Riau sejak satu tahun lalu. Apalagi, pemberian SP3 tersebut sudah melaui proses penyelidikan, penyidikan, serta didasarkan pada keterangan dari saksi sekitar, termasuk para ahli.