Jumat 26 Aug 2016 15:07 WIB

Amirul Mukminin Teladan Pemimpin Sederhana

Rep: Hafidz Muftisany/Berbagai Sumber/ Red: Agung Sasongko
Abu Bakar Ash-Shiddiq, khalifah pertama Khulafur Rasyidin
Foto: NET
Abu Bakar Ash-Shiddiq, khalifah pertama Khulafur Rasyidin

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sehari sesudah Abu Bakar as-Shiddiq dilantik menjadi seorang khalifah untuk memimpin kaum Muslimin, esok paginya ia pergi ke pasar Madinah untuk berjualan. Ia tetap seperti biasanya menjalani profesinya sebagai saudagar.

Beberapa sahabat lain pun protes kepada beliau. "Wahai Amirul Mukminin, jika engkau berjualan di pasar, lantas siapa yang akan mengurusi kami?" tanya salah seorang sahabat.

Abu Bakar juga membalas pertanyaan itu dengan pertanyaan. "Jika saya tidak berdagang, lantas bagaimana saya menghidupi keluarga saya?" ujar beliau.

Akhirnya, para sahabat senior kala itu bermusyawarah dan menetapkan gaji untuk Khalifah pertama itu. Gaji yang diberikan hanya sebatas untuk bisa menghidupi Abu Bakar dan keluarganya. Setelah itu, Abu Bakar tidak lagi berjualan di pasar dan mengurusi negara hingga dua tahun berikutnya ia dipanggil menghadap Allah SWT. Demikian seperti dikisahkan dalam Bidayah wan Nihayah karya Ibnu Katsir.

Begitulah kepemimpinan yang dicontohkan seorang sahabat yang paling dekat dengan Rasulullah itu. Ia mengajarkan, kekuasaan dan jabatan bukanlah media untuk mencari kekayaan. Amanah yang terpikul di pundaknya bukanlah alat untuk mengumpulkan harta. Memimpin rakyatnya semata-mata untuk menjalankan amanah.

Hal yang sama juga dicontohkan oleh khalifah sesudahnya, Umar bin Khattab. Sudah menjadi tradisi ketika itu untuk membagikan pakaian kepada dua golongan dari umat Islam. Golongan itu adalah assabiqunal awwalun (orang yang pertama-tama masuk Islam), dan ahlun nabi (karib kerabat Nabi Muhammad SAW).

Kendati ia seorang Khalifah, Umar bin Khattab tak mendapatkan jatah pakaian tersebut. Karena ia memang tidak termasuk dari salah satu golongan itu. Ia bukan orang yang pertama masuk Islam, dan juga bukan berasal dari kerabat Rasulullah.

Hingga ketika ada pembagian jatah pakaian untuk seluruh kaum Muslimin, Umar bin Khattab mendapat jatah satu stel pakaian. Namun ketika itu, ia diprotes salah seorang sahabat. "Wahai Amirul Mukminin, masing-masing kami mendapatkan jatah pakaian satu. Lalu mengapa engkau mendapatkan dua?" protes salah seorang sahabat tersebut di hadapan sebuah mejelis.

Menjawab pertanyaan itu, putra beliau Abdullah bin Umar bin Khattab pun berdiri. "Hadirin sekalian. Badan bapak saya ini (Umar bin Khattab) seperti kita ketahui sangatlah besar. Jadi, jatah satu pakaian itu tidak muat di tubuh beliau. Tapi kendati demikian, beliau tidak mengambil dua buah. Jatah sayalah yang saya berikan kepadanya," papar Abdullah.

Jelaslah, menjadi pejabat negara bagi Umar bin Khattab bukanlah wadah untuk mengumpulkan kekayaan. Tidak ada istilah korupsi bagi Umar bin Khattab, kendati hanya sehelai pakaian. Tidak ada istilah nepotisme kendati beliau adalah seorang presiden umat Islam ketika itu.

Banyak kisah mengharukan yang dicontohkan Umar bin Khattab. Ketika beliau didatangi anaknya di kantornya, ia pun mematikan lampu dan menggantinya dengan lampu api kecil miliknya. Alasan Umar, kedatangan anaknya bukan dalam urusan negara. Jadi, tidak pantas untuk memakai lampu negara. Kendati ia seorang presiden, Abdullah bin Umar, putranya memiliki 16 buah tambalan di bajunya. Kendati ia seorang kepala negara, ia pernah hampir terlambat datang waktu shalat jumat karena menunggu baju satu-satunya kering dijemur.

Tak ada alasan untuk memanfaatkan jabatan untuk korupsi atau memperkaya diri waktu di zaman sahabat dahulu. Sesuatu yang jelas berbeda terlihat ketika masa kampanye saat ini. Sudah menjadi pameo di masyarakat, sekian miliar dana yang digelontorkan seorang caleg di masa kampanye. Tentu setelah ia duduk sebagai anggota dewan, ia akan mengembalikan lagi uangnya yang hilang waktu kampanye. Orientasi menjadi caleg sebagai alat untuk memperkaya diri. Sungguh sudah sangat jauh dari apa yang dicontohkan Abu Bakar dan Umar Bin Khattab.

Rasulullah dalam sabdanya, “Setiap daging yang tumbuh dari yang haram, maka api neraka lebih berhak baginya.” (HR Ahmad).

Apakah tidak ada lagi yang takut pada api neraka, sehingga menjadikan jabatan sebagai sarana memakan harta haram? Tidakkah cukup kekayaan yang sudah diberikan Allah, sehingga harus mati-matian mencari jabatan untuk memakan uang haram? Tentu mereka ini tak akan mencium surga Allah di akhirat kelak.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement