REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sahabat Rasulullah SAW yang sehari-hari membantu beliau, Anas bin Malik RA menangkap pembicaraan tiga orang lelaki. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Imam Muslim ini, Anas melihat tiga orang lelaki datang ke rumah istri-istri Nabi SAW.
Mereka bertanya bagaimanakah ibadahnya manusia yang digelari Al Amin itu? Mereka mendapat jawaban yang sangat menakjubkan. Rasulullah SAW yang sudah diampuni seluruh dosa-dosanya itu ternyata amat giat beribadah. Ketiga lelaki inipun merasa amalnya selama ini tak ada apa-apanya dibanding amalan sang Nabi.
"Apa artinya kita dibandingkan Nabi SAW, padahal Allah telah mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan yang akan datang?" begitu cetus mereka seperti yang ditangkap Anas.
Kemudian, muncul azzam (tekad) untuk memperbaiki diri secara totalitas. Mereka bahkan berniat untuk berbuat baik hingga melampaui batas demi rasa malu melihat betapa hebatnya ibadah Rasulullah SAW.
Salah seorang diantara mereka berkata, "Aku akan shalat malam selamanya." Orang kedua mengatakan,"Aku akan berpuasa sepanjang masa dan tidak akan pernah berbuka." Orang ketiga mengatakan, "Aku akan menjauhi wanita dan tidak akan menikah selamanya."
Ternyata manusia nan agung, Nabi SAW mendengar janji mereka. Lantas beliau SAW bertanya, "Apakah kalian yang mengatakan demikian dan demikian?" "Benar Ya Rasulullah," jawab mereka.
"Demi Allah," sabda Rasul, "sesungguhnya aku lebih takut kepada Allah dan lebih bertakwa daripada kalian, tetapi aku berpuasa dan berbuka, shalat dan tidur, serta menikahi wanita. Barangsiapa yang membenci sunahku, maka ia bukan termasuk golonganku."
Kita paham bagaimana niat awal ketiga lelaki ini. Mereka adalah seorang Muslim yang bersemangat menambah amal-amal ibadah mereka. Mereka merasa malu kala membandingkan dengan amalan junjugan mereka. Mereka pun lantas memiliki tekad. Sebuah tekad kuat yang kelihatannya baik.
Namun ternyata, bagi Rasulullah SAW janji ketiga orang tersebut bermasalah. Shalat malam dan puasa adalah sebuah ibadah. Mengandung kebaikan tentu saja. Namun jika dilakukan melampaui batas, maka ia menjadi buruk.
Menghindari wanita dan melajang demi fokus ibadah mungkin sejenak terlihat baik. Namun bagi Rasulullah SAW, justru menikahlah yang lebih baik karena menikah adalah hal yang Beliau SAW contohkan.
Kita seharusnya menjadi lebih paham. Mengamalkan ajaran Allah SWT dan Rasulullah SAW tak cukup dengan semangat membara saja. Harus ada ilmu yang turut menyertainya. Tanpa ilmu, semangat berlebihan hanya akan menjadi debu yang sia-sia. Bahkan bisa jadi akan menjadi madharat, bukan hanya bagi pelaku namun juga orang-orang di sekitarnya.
Rasulullah SAW mengajarkan hidup untuk tak berlebihan. Hidup seimbang adalah sebuah fitrah. Berlebihan dalam hal apapun jelas tidaklah baik. Apalagi dalam beribadah dan beragama. Jangan sampai semangat berlebihan dalam beragama mendorong seseorang jatuh dalam perbuatan para ahli kitab.
Allah SWT berfirman, "Katakanlah, 'Hai Ahli Kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam agamamu. Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulunya (sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus'." (QS al-Maidah [5]: 77)
Menjadi golongan yang seimbang dalam mengerjakan agama -dengan ilmu tentu saja- jauh lebih menenteramkan jiwa. Kita akan menjadi manusia yang terus bertumbuh karena semangat tak datang sekaligus lantas menghilang. Semangat mengikuti ritme jiwa yang kadang naik dan kadang turun.
Semangat yang berlebihan juga akan menjadikan standar kita dalam beragama menjadi kacau. Kita akhirnya melihat sekitar dengan pandangan sinis. Orang-orang dinilai tak mengamalkan ajaran agama dengan benar. Bibit-bibit konflik sosial pun bisa muncul dari sikap ini. Para ulama menyebutnya ghuluw.
Kita dilarang keras bersikap berlebihan utamanya dalam beragama. Berlebihan dalam perkara dunia bisa jadi efeknya akan langsung terasa. Begitu juga berlebihan dalam beragama. Allah SWT berfirman, "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas." (QS al-Maidah [5]: 87)
Semoga kita dijauhkan dari sikap berlebihan dalam beragama. Ghirah dalam menyambut seruan Allah SWT dan Rasul-Nya bukan berarti menjatuhkan kita pada sikap ghuluw. Kuncinya adalah ilmu dan benar dalam beragama. Wallahua'lam.