Selasa 20 Sep 2016 13:27 WIB

Keharusan Memilih Pemimpin Muslim

Mantan Ketua MPR Amin Rais (kedua kanan) bersama Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq (kanan) mengikuti silaturahmi akbar dengan tema  Doa untuk Kepemimpinan Ibukota di Masjid Istiqlal, Jakarta, Ahad (18/9). (Republika/ Raisan Al Farisi)
Foto: Republika/Raisan Al Farisi
Mantan Ketua MPR Amin Rais (kedua kanan) bersama Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq (kanan) mengikuti silaturahmi akbar dengan tema Doa untuk Kepemimpinan Ibukota di Masjid Istiqlal, Jakarta, Ahad (18/9). (Republika/ Raisan Al Farisi)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Dudung Abdul Rohman *)

Dalam sistem demokrasi, siapa pun dapat terpilih menjadi pemimpin. Karena, prinsip demokrasi adalah suara mayoritas dari rakyat sebagai pemegang kedaulatan yang dilindungi undang-undang. Siapa pun yang memperoleh suara terbanyak, maka dialah yang berhak menjadi wakil rakyat atau pemimpin. Dalam demokrasi pun mensyaratkan 'Suara rakyat adalah suara Tuhan' (Fok populy fox day). Dalam bahasa kita demokrasi itu 'Dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.

Dalam konteks bangsa Indonesia yang plural, artinya beragam suku, agama, budaya, dan bahasa, maka dengan sistem demokrasi membuka peluang kepada siapa pun, kelompok manapun, dan agama apapun (yang sudah dilegalkan), untuk menjadi pemimpin. Tinggal, bagaimana mengatur taktik dan strategi untuk merebut hati dan mendulang suara rakyat. Inilah peluang dan sekaligus tantangan demokrasi bagi umat Islam di Indonesia yang mayoritas. Ternyata, Indonesia memang negara yang berpenduduk Muslim terbesar di dunia yang sukses menegakkan demokrasi.

Walau bagaimana pun, dalam etika kepemimpinan Islam, kita selaku umat Islam tidak boleh dan dilarang memilih pemimpin yang beragama di luar Islam. Mengapa? Karena, kepemimpinan mensyaratkan adanya kesetiaan dan kepatuhan. Bagaimana kita menyerahkan loyalitas kepada orang yang berbeda agama. Tak ubahnya seperti berkeluarga. Maka, kita selaku umat Islam dilarang menikah kepada orang yang berbeda agama. Juga dalam memilih pasangan hidup. Memang, kita diberi kebebasan untuk memilih yang baik dari segi rupanya, keturunannya, ataupun kekayaannya. Tetapi pertimbangan yang penting, kata Rasulullah SAW adalah agamanya, karena itulah yang akan menjamin ketentraman dan kelanggengan berumah tangga.

Dalam konteks kenegaraan dan pemerintahan, memang kedudukan dan peranan pemimpin itu sangat besar, sehingga menjadi rebutan semua orang. Apalagi, bagi mereka yang memiliki modal besar dan dorongan 'syahwat' politik yang tinggi. Maka, bagi umat Islam sebenarnya jangan berpangku tangan dan tinggal diam menonton perebutan kekuasaan. Tetapi, kalau memiliki kemampuan dan ada kesempatan harus berani terjun ke arena perebutan kekuasaan, tentu dengan cara yang sah dan dibenarkan. Sehingga, bagi umat Islam masih ada pilihan siapa pemimpinnya di masa yang akan datang.

Memang larangan memilih pemimpin di luar agama Islam ditujukan secara khusus kepada orang-orang yang beriman. Maka, pertimbangannya pun berkaitan erat dengan keimanan. Orang yang beriman yang sudah menyerahkan totalitas hidupnya untuk mengabdi kepada Allah, tak mungkin menyerahkan loyalitasnya kepada orang yang berlainan agama. Oleh karena itu, ayat-ayatnya pun secara tegas ditujukan kepada orang yang beriman.

Larangan mengangkat orang kafir sebagai pemimpin. Dalam Alquran ditegaskan: Artinya: “Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barangsiapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah kembali(mu)”. (QS. Ali-‘Imran [3]:28).

Larangan mengangkat pemimpin yang memusuhi Allah. Dalam Alquran dikemukakan: Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu, mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu beriman kepada Allah, Tuhanmu. Jika kamu benar-benar keluar untuk berjihad di jalan-Ku dan mencari keridhaan-Ku (janganlah kamu berbuat demikian). Kamu memberitahukan secara rahasia (berita-berita Muhammad) kepada mereka, karena rasa kasih sayang. Aku lebih mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan. Dan barangsiapa di antara kamu yang melakukannya, maka sesungguhnya dia telah tersesat dari jalan yang lurus”. (QS. Al-Mumtahanah [60]:1).

Larangan mengangkat orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin. Allah SWT berfirman:

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim” (QS. Al-Maaidah [5]:51).

Larangan mengangkat pemimpin orang-orang yang mempermainkan agama. Allah SWT berfirman: Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil jadi pemimpinmu, orang-orang yang membuat agamamu jadi buah ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik). Dan bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang-orang yang beriman”. (QS. Al-Maaidah [5]:57).

Larangan mengangkat pemimpin orang-orang yang cenderung pada kekufuran sekalipun kerabat sendiri. Allah SWT menegaskan: Artinya: “Hai orang-orang beriman, janganlah kamu jadikan bapa-bapa dan saudara-saudaramu menjadi wali(mu), jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan, dan siapa di antara kamu yang menjadikan mereka wali, Maka mereka itulah orang-orang yang zalim”. (QS. At-Taubah [9]:23). Wallahu A’lam Bish-Shawaab.

*) Widyaiswara Balai Diklat Keagamaan Bandung

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
يَسْتَفْتُوْنَكَۗ قُلِ اللّٰهُ يُفْتِيْكُمْ فِى الْكَلٰلَةِ ۗاِنِ امْرُؤٌا هَلَكَ لَيْسَ لَهٗ وَلَدٌ وَّلَهٗٓ اُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَۚ وَهُوَ يَرِثُهَآ اِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّهَا وَلَدٌ ۚ فَاِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثٰنِ مِمَّا تَرَكَ ۗوَاِنْ كَانُوْٓا اِخْوَةً رِّجَالًا وَّنِسَاۤءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْاُنْثَيَيْنِۗ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمْ اَنْ تَضِلُّوْا ۗ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ ࣖ
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu), jika seseorang mati dan dia tidak mempunyai anak tetapi mempunyai saudara perempuan, maka bagiannya (saudara perempuannya itu) seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mewarisi (seluruh harta saudara perempuan), jika dia tidak mempunyai anak. Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sama dengan bagian dua saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, agar kamu tidak sesat. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

(QS. An-Nisa' ayat 176)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement