REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Budaya Kuba saat ini begitu menantang bagi komunitas Muslim untuk mempraktikkan agama mereka. Rum adalah satu minuman populer dan umum dijual di kafe-kafe di Kuba. Harganya pun lebih murah dari minuman ringan. Sementara babi, adalah jenis daging yang terhidang di hari biasa hingga pesta-pesta.
Ada supermarket yang mengimpor daging halal dari Brasil, tapi harganya tidak terjangkau oleh kebanyakan warga Kuba. Begitu pula kerudung dan gamis. "Banyak saudara sesama Muslim yang bilang Muslim Kuba adalah Muslim sejati karena demikian sulit menjalankan Islam di sini," kata Hajji Isa.
(Baca: Menjadi Muslim Kuba)
Hassan Jan juga merasakan perjuangan itu di awal-awal menjadi Muslim. Makanan halal sulit didapat karena banyak yang dilarang. "Sejujurnya, ini sulit, tapi Allah SWT memberi kekuatan," kata Hassan.
Sejak menjadi Muslim, gaya hidup Hassan dan Shabana berubah total. Kini, mereka lebih banyak beraktivitas di rumah. Shabana hanya keluar rumah jika ada keperluan, semisal pergi ke dokter, bukan karena ingin berkeliaran.
Tak hanya makanan dan pakaian, Muslim Kuba juga harus berhadapan dengan kurangnya pemahaman masyarakat tentang Islam. Laporan media tentang seragan teroris dan konflik Timur Tengah memengaruhi pandangan masyarakat Kuba terhadap agama ini. Hal ini yang coba Hajji Isa ubah.
(Baca Juga: Bisnis Muslim Kuba dan Celah Dakwah)
Kebebasan beragama memang dihormati di bawah hukum Kuba. Namun, persoalan muncul ketika otoritas menerjemahkan hukum dari pandangan mereka. Muslimah berjilbab misalnya, kerap kali mengalami tekanan dan diskriminasi dari otoritas kampus tempat mereka belajar atau atasan mereka di tempat kerja.
"Situasi semacam itu diselesaikan melalui dialog dan penjelasan tentang Islam," kata Hajji Isa.
(Baca Juga : Komunitas Muslim Muda Kuba Terus Tumbuh)
Shabana juga mengalami kondisi rumit setelah mengenakan jilbab sampai akhirnya ia meninggalkan pekerjannya. Kini Shabana menyediakan jasa pengasuhan anak di rumahnya bagi keluarga Muslim.
Shabana melihat, peran aktif Muslim sangat penting untuk meningkatkan pemahaman masyarakat Kuba tentang Islam. Keluar rumah juga menjadi dakwah sendiri bagi Shabana, karena saat di jalan orang bertanya tentang jilbabnya dan Shabana jadi menjelaskan tentang Islam.
"Orang-orang jadi beradaptasi. Mereka jadi tahu Islam tidak seperti apa yang dibicarakan orang-orang selama ini," kata Shabana.
Kebutuhan masjid dan fasilitas shalat juga dirasa mendesak. Pada 2015, sebuah museum di Calle Oficios di Kota Tua Havana diubah menjadi masjid dengan dukungan dari Kantor Kesejarahan, yang merupakan otoritas restorasi di Havana. Ini adalah satu-satunya masjid di Kuba dan tempat umat Islam di Havana bisa melaksanakan shalat Jumat.
Di kota lain, solusinya informal. Komunitas Muslim membuat ruang shalat sendiri di rumah-rumah. Hassan dan Shabana termasuk yang demikian. Mereka menyediakan satu ruang sebagai mushala tempat Muslim lain di Santa Clara bisa datang dan shalat di sana.
Dukungan ternyata datang dari luar. Arab Saudi mendirikan laboratorium bahasa di Havana dan Santiago. Pada 2014, di Havana Book Fair didirikan sebuah stan yang mendistribusikan literatur Islam dan Alquran dengan terjemahan berbahasa Spanyol.
Raja Saudi Abdullah bin Abdul Azis, yang wafat Januari tahun lalu, bahkan mengundang lima orang Muslim Kuba untuk berhaji pada 2014, hal yang nyaris mustahil bagi kebanyakan warga Kuba, yang PNS saja digaji 20 dolar per bulan. Dan, Hajji Isa adalah salah satu dari lima orang beruntung itu. Menyandang gelar haji, membuatnya kian bersemangat memperjuangkan hak-hak dasar bagi Muslim Kuba.