REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Persatuan Insinyur Indonesia (PII) menilai perlu adanya kompetensi bagi insinyur Indonesia. Hal ini dianggap sesuai dengan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2014 tentang Keinsinyuran.
PII akan bekerja sama dengan Kemenristek Dikti, KemenPUPR, Kemenperin dan 40 perguruan tinggi di seluruh Indonesia dalam menjalankan program profesi tersebut. Ketua PII yang juga merupakan mantan ketua Badan Pembangunan Infrastruktur Wilayah (BPIW) Hermanto Dardak mengatakan, adanya program profesi keinsinyuran sangat penting di tengah persaingan internasional, terutama berlakunya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).
Ia mengatakan, insinyur merupakan salah satu profesi yang dapat melakukan pekerjaan lintas ASEAN. "Ini sebenarnya bisa menjadi peluang insinyur kita berkarir di ASEAN," katanya kepada Republika, Jumat (7/10).
Untuk itu perlu adanya sistem yang menjadikan insinyur Indonesia kompeten. Saat ini pemerintahan Jokowi-JK berfokus pada infrastruktur dengan nilai melebihi Rp 5 ribu triliun. Hal itu menjadikan insinyur dari negara ASEAN lain berencana masuk ke Indonesia sebagai tempat berkarir.
"Mereka mengikuti kursus bahasa Indonesia untuk bisa masuk ke sini. Untuk membendung hal tersebut kita perlu meningkatkan kemampuan insinyur dalam negeri," ujar dia.
Tantangan yang dihadapi Indonesia untuk bersaing adalah kuantitas dan kualitas. Berdasarkan data PII, pada 2014, ada 750 ribu potensi insinyur. Namun sampai sekarang yang menjadi anggota PII ada 27 ribu insinyur. Sekitar 9.800 di antaranya merupakan insinyur profesional dan hanya 1.978 yang memiliki sertifikat internasional. "Mereka memiliki Asian Charter Professional Enginering," lanjut Hermanto.
Presentase mahasiswa teknik Indonesia juga dinilai berkurang. Saat ini jumlah mahasiswa teknik di Indonesia sekitar 15 persen. Jumlah mahasiswa teknik di Malaysia dan Thailand masing-masing 25 dan 26 persen. "Sementara di Korea yang kita lihat pembangunannya sangat cepat ada 33 persen," katanya.