REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penyidik Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri mengungkap jaringan pembuat dan pengedar uang palsu. Ada empat tersangka yang diamankan aparat di Semarang, Jawa Tengah.
"Pada Kamis tanggal 6 Oktober 2016 Subdit Upal Direktorat Tipideksus Bareskrim Polri menangkap empat orang jaringan pembuat uang palsu di Semarang, Jawa Tengah," kata Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri Brigjen Pol Agung Setya, Sabtu (8/10).
Pengungkapan ini berawal dari hasil penyelidikan tentang adanya pengedaran uang palsu di Ungaran, Semarang, yang dikendalikan oleh seorang narapidana dari dalam lapas.
"Jaringan ini dikendalikan oleh seorang narapidana yang sedang menjalani hukuman kasus uang palsu di Lapas Kerobokan Bali," katanya.
Keempat tersangka ditangkap secara berurutan dari Kamis (6/10) hingga Jumat (7/10) dini hari di lokasi yang berbeda di Semarang dan sekitarnya. Keempat tersangka memiliki peran yang berbeda mulai dari pembuat, kurir, penjual uang palsu hingga pengendali peredaran uang Palsu.
"Para tersangka mengedarkan uang palsu di wilayah Jawa dan Bali sejak empat tahun yang lalu," katanya.
Adapun identitas dan peran masing-masing tersangka yaitu HH (39 tahun) yang berperan menjual uang palsu pecahan 100.000. SV (26 tahun), berperan sebagai pengendali pembuatan uang palsu dan atas perintah orang tuanya (AH) yang berada di LP Kerobokan, Bali ditahan dengan kasus yang sama. Ketiga, S (48 tahun), peran sebagai kurir sekaligus pengawas pembuatan uang palsu. Keempat MS (32 tahun), berperan melakukan setting warna saat pencetakan uang palsu.
Sejumlah barang bukti yang berhasil ditemukan oleh penyidik yaitu, 450 lembar uang palsu pecahan Rp100 ribu, ratusan lembar uang palsu yang belum di potong, alat sablon, komputer, printer dan perlengkapan lain yang digunakan untuk mencetak uang palsu.
Selain uang palsu, turut disita tiga unit mobil yang diduga merupakan hasil kejahatan selama 4 tahun ini. Atas perbuatannya, keempat tersangka dijerat dengan Pasal 36 Ayat 1, 2 dan 3 UU 7 Tahun 2011 dengan ancamam hukuman maksimal 15 tahun.