REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mengapresiasi disahkannya perubahan kedua atas UU Nomor 22 Tahun 2002 tentang perlindungan anak. Meski demikian, disepakati jika eksekutor kebiri bukan dari kalangan dokter.
Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakakat Kemenkes, Oscar Primadi, mengatakan pihaknya mendukung pengesahan UU tersebut. "Kami dukung, beserta tiga PP yang nantinya menyertai UU. Namun, pembahasan PP kini masih berada di tingkat Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, belum sampai ke Kemenkes," jelas Oscar dalam keterangan tertulisnya kepada Republika,co,id, Rabu (12/10).
Sebelumnya, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Yohana Yembise mengatakan pemerintah akan segera membuat tiga Peraturan Pemerintah (PP) untuk menindaklanjuti disetujuinya Rancangan undang-undang tentang Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang nomor 1/2016 tentang perubahan kedua atas UU nomor 22/2002 tentang perlindungan anak.
Menurut Yohana, pihaknya bersama-sama dengan Kementerian Sosial, Kemeterian Kesehatan, dan Kementerian Hukum dan HAM akan membuat peraturan pemerintah untuk pelaksanaannya. Menurut dia, PP tersebut adalah PP Rehabilitasi sosial, PP hukuman kebiri dan PP pemasangan chip di tubuh pelaku.
Menanggapi rencana tersebut, Ketua IDI, Daeng M Faqih, mengatakan pihaknya pun mengapresiasi pengesahan UU. Namun, pihaknya menegaskan bahwa eksekutor hukumam kebiri nantinya bukan dari kalangan dokter.
"Berdasarkan kesepakatan dengan pemerintah, eksekutor kebiri kimia bukan dokter. Nantinya akan ada eksekutor khusus kebiri yang diatur dalam aturan pelaksanaan UU itu," ujar Daeng.
Pihaknya memberikan alasan, hukuman kebiri bertentangan dengan kode etik dan nilai kebaikan yang dianut dokter. Selain itu, eksekusi kebiri bukan merupakan layanan medis. Adapun secara etika profesi para dokter hanya melakukan tindakan medis untuk tujuan kemanusiaan.