Kamis 24 Nov 2016 07:00 WIB

'Suul Adab', Foto KH Ma’ruf, dan Berkah Ilmu Bagi yang Paham

Rais Am PBNU KH Ma’ruf Amin, Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj, Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo dan Wakil Ketua Umum PBNU Slamet Effendy Yusuf sedang melakukan hormat kepada bendera merah putih pada acara penutupan Kirab Resolusi Jihad NU, dalam ran
Foto:
KH Maruf Amin, pada pengajian Dzikir Nasional 2015 di Masjid At-Tin, Jakarta.

‘’Suul adab!’’ Satu kalimat yang berati tak punya adab alias berperilaku buruk atau tidak tahu sopan santun itu sangat dihindari bagi seorang santri dan kalangan kaum Nahdliyin. Mereka sangat sangat membenci sikap itu karena mengisyaratkan kepongahan kepada seorang guru, ulama, yang mereka yakini sepenuhnya  bila tanpa restunya setinggi apa pun ilmu yang dipunyai tak akan memberikan keberkahan bagi dirinya, apalagi bagi sesama manusia dan semesta alam raya.

Bagi yang pernah ‘nyantri’ sebelum belajar kitab kuning, mereka pasti diharuskan mengkaji sebuah kitab kecil dan tipis tentang petunjuk sekaligus tata cara seseorang ketika mencari ilmu:kitab Ta'lim Muta'allim, karya Syaikh Burhanuddin Az Zanurji. Kitab ini mengajarkan tentang etika dan metode bagi pelajar untuk meraih keberkahan. Di situ ada pembahasan mengenai niat lurus, memilih guru mengagungkan ilmu dan ahlinya, belajar tekun dan musyawarah, belajar di perantauan dan menanggung kesusahan yang dialami,  hingga bekerja dan berdoa agar hidup berkecukupan

Di bagian awal kitab ini misalnya, para pencari ilmu akan diberi pemahaman  mengenai salah satu ajaran Islam yang penting sekaligus mendasar bahwa setiap Muslim maupun Muslimah wajib mencari ilmu. Dan di bagian berikutnya kitab ini juga memberi arahan tentang bagaimana cara bersikap seorang santri terhadap ilmu yang tengah dan akan dipelajarinya.

Pada bagian lain di dalam  kitab itu dijuga diberi arahan mengenai perilaku seorang santri terhadap gurunya, atau kiainya. Bagaimana dia bertutur kata, berinteraksi, hingga mengayomi sekaligus melindungi si sumber ilmu, yakni sang kiai. Tak lupa pula ditunjukan bagaimana seorang santri harus bersikap dengan keluarga kiai, kerabat, bahkan sesame santri lainnya.

Pendek kata; kiai adalah sumber keberkahan dari gerbang-gerbang ilmu serta taburan hikmah kehidupan. Mereka menyakini gurunya adalah tak hanya hanya seorang juru pandu bagi kehidupan dunia, tapi pelita jiwa yang akan di bawa mati sampai alam akhirat.

Bagi orang di luar santri, sikap itu mungkin bisa disebut fatalis: menjadi pengikut tanpa reverse. Namun sesungguhnya: tidak sama sekali! Para santri jelas tidak buta hati, buta mata, buta telinga atas sosok ulamanya. Maka tak heran kalau para kyai zuhud akan menjadi acuan. Para santri memandang menjadi ulama tak cukup hanya pintar saja, tapi harus menjadi seseorang yang berperilaku 'hampir sempurna' sebagai seorang panutan hidup di dunia dan kelak ketika mereka meninggalkan dunia fana.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement