‘’Suul adab!’’ Satu kalimat yang berati tak punya adab alias berperilaku buruk atau tidak tahu sopan santun itu sangat dihindari bagi seorang santri dan kalangan kaum Nahdliyin. Mereka sangat sangat membenci sikap itu karena mengisyaratkan kepongahan kepada seorang guru, ulama, yang mereka yakini sepenuhnya bila tanpa restunya setinggi apa pun ilmu yang dipunyai tak akan memberikan keberkahan bagi dirinya, apalagi bagi sesama manusia dan semesta alam raya.
Bagi yang pernah ‘nyantri’ sebelum belajar kitab kuning, mereka pasti diharuskan mengkaji sebuah kitab kecil dan tipis tentang petunjuk sekaligus tata cara seseorang ketika mencari ilmu:kitab Ta'lim Muta'allim, karya Syaikh Burhanuddin Az Zanurji. Kitab ini mengajarkan tentang etika dan metode bagi pelajar untuk meraih keberkahan. Di situ ada pembahasan mengenai niat lurus, memilih guru mengagungkan ilmu dan ahlinya, belajar tekun dan musyawarah, belajar di perantauan dan menanggung kesusahan yang dialami, hingga bekerja dan berdoa agar hidup berkecukupan
Di bagian awal kitab ini misalnya, para pencari ilmu akan diberi pemahaman mengenai salah satu ajaran Islam yang penting sekaligus mendasar bahwa setiap Muslim maupun Muslimah wajib mencari ilmu. Dan di bagian berikutnya kitab ini juga memberi arahan tentang bagaimana cara bersikap seorang santri terhadap ilmu yang tengah dan akan dipelajarinya.
Pada bagian lain di dalam kitab itu dijuga diberi arahan mengenai perilaku seorang santri terhadap gurunya, atau kiainya. Bagaimana dia bertutur kata, berinteraksi, hingga mengayomi sekaligus melindungi si sumber ilmu, yakni sang kiai. Tak lupa pula ditunjukan bagaimana seorang santri harus bersikap dengan keluarga kiai, kerabat, bahkan sesame santri lainnya.
Pendek kata; kiai adalah sumber keberkahan dari gerbang-gerbang ilmu serta taburan hikmah kehidupan. Mereka menyakini gurunya adalah tak hanya hanya seorang juru pandu bagi kehidupan dunia, tapi pelita jiwa yang akan di bawa mati sampai alam akhirat.
Bagi orang di luar santri, sikap itu mungkin bisa disebut fatalis: menjadi pengikut tanpa reverse. Namun sesungguhnya: tidak sama sekali! Para santri jelas tidak buta hati, buta mata, buta telinga atas sosok ulamanya. Maka tak heran kalau para kyai zuhud akan menjadi acuan. Para santri memandang menjadi ulama tak cukup hanya pintar saja, tapi harus menjadi seseorang yang berperilaku 'hampir sempurna' sebagai seorang panutan hidup di dunia dan kelak ketika mereka meninggalkan dunia fana.