REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Pusat Kajian Strategis (Puskas) Baznas, Irfan Syauqi Beik menjelaskan ada dua dimensi yang diukur pada Indeks Zakat Nasional. Pertama, dimensi makro, yang mencakup soal regulasi, dukungan APBN dan APBD, serta database muzakki dan mustahik.
Kedua, dimensi mikro, yang menyoroti soal kelembagaan dan dampak zakat. Misalnya, kualitas penghimpunan, penyaluran, pengelolaan, dan pelaporan zakat. Kemudian, terkait efek zakat, yakni sisi kesejahteraan dan kemandirian mustahik, serta sisi keberlanjutan zakat.
"IZN diharapkan dapat memberi parameter yang objektif, sehingga kita bisa menilai di mana posisi pengelolaan zakat nasional," jelasnya.
IZN juga merupakan salah satu cara Baznas mewujudkan amanat Undang-Undang Nomor 23/2011. Yakni, Baznas sebagai koordinator pengelolaan zakat nasional.
Karena itu, lanjut Irfan, IZN menjadi rujukan utama bagi semua lembaga amil zakat di Indonesia.
"IZN menjadi mandatory untuk semua LAZ. Kita akan mengukur secara nasional, kemudian provinsi, wilayah kabupaten/kota, sampai individu atau lembaga," ungkap dia.
Menurut catatan Baznas, realisasi zakat nasional masih rendah. Per Agustus 2016, kemampuan penghimpunan zakat nasional baru mencapai Rp 3,65 triliun. Sampai akhir tahun ini, diprediksi jumlahnya menembus hingga Rp 4 triliun.
Namun, Indonesia sebenarnya memiliki potensi zakat nasional hingga Rp 217 triliun. Artinya, lanjut Irfan, realisasi pengumpulan zakat sejauh ini masih di bawah lima persen dari potensinya.