REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Warna hijau lekat dengan Islam. Selain karena warna ini disebut Alquran sebagai bagian dari warna pakaian para penghuni surga, warna hijau juga jadi simbol peradaban Islam yang memang lekat dengan kehidupan seimbang dengan alam, termasuk dalam hal pertanian.
Dalam Agriculture in Muslim Civilisation : A Green Revolution in Pre-Modern Times, Sarah Zaimeche, menjelaskan, periode antara abad kesembilan hingga abad 13 jadi saksi transformasi fundamental pertanian yang bisa disebut sebagai revolusi hijau Islam pada era pramodern. Ekonomi yang dibentuk di Arab dan dunia Islam memungkinkan terjadinya difusi dan adaptasi teknik pertanian dari luar dunia Islam.
Pada awal abad kesembilan, inovasi pertanian jadi penggerak utama ekonomi dan sumber produksi dunia Islam. Ini didukung sistem irigasi ekstensif dan pengembangan sistem pertanian oleh para ahli ilmu kala itu termasuk teknik peternakan, pembasmian hama, dan temuan teknik persilangan untuk menemukan varietas baru.
Revolusi pertanian di dunia Islam berhasil memperkenalkan pertanian model baru yang didukung sistem irigasi ekstensif. Kala itu, dunia Islam sudah mengenal sistem rotasi tanaman sehingga di satu kota bisa jumpai aneka produk pertanian dengan mudah. Sistem pertanian Muslim Spanyol bahkan, disebut yang paling kompleks, paling ilmiah, dan paling sempurna yang pernah dikembangkan manusia.
Teknik yang dikembangkan dunia Islam saat itu juga dinilai spektakuler karena menggabungkan pengetahuan pertanian dari berbagai tempat. Aneka pupuk digunakan dengan tetap menjaga kelembapan tanah. Menjaga tanah pertanian dari erosi jadi aturan utama ekologi di dunia kala itu.
Namun, kunci suksesnya pertanian dunia Islam adalah kerja keras. Tidak ada alam yang langsung memberi kemudahan tanpa usaha manusia. Peningkatan jumlah pekerja pertanian tak lepas dari perkembangan teknologi terbaru, perluasan lahan pertanian ke lahan tidur, pengenalan varietas baru, dan intensifikasi rotasi tanaman.
Perubahan-perubahan ini ditambah peningkatan tenaga kerja pertanian membuat ekonomi dunia Islam bergerak. Perdagangan yang meningkat ikut memperbesar skala ekonomi, pertumbuhan populasi, dan urbanisasi.
Perhatian akan irigasi juga tak main-main. Dari Andalusia hingga Timur Jauh, dari Sudan hingga Afghanistan, sistem irigasi jadi hal sentral. Sistem irigasi tua ada yang dipertahankan, ada pula yang diperbarui sambil mengembangkan teknik penangkap air, kanalisasi, area serapan, dan kombinasi itu semua. Dalam semua buku pertanian di Maghribi, Andalusia, Mesir, Irak, Persia, dan Yaman, selalu ada poin pengembangan teknik dan peralatan pengendalian air.
Penangkapan air melalui aneka cara kanalisasi, penyimpanan, dan penangkapan air dilakukan menggunakan aneka teknik. Irigasi jadi murah sehingga lahan yang awalnya sulit terairi, jadi terairi. Lahan yang teririgasi baik bahkan, bisa menghasilkan panen hingga empat kali setahun. Sungguh sesuatu yang membawa kesejahteraan.
Dikenalkannya noria (alat pengangkat air) jadi teknik revolusioner bagi produktivitas pertanian. Noria jadi alat yang murah dan mudah perawatannya sehingga irigasi bisa diintensifkan.
Di Cordoba, pernah ada 5.000 noria. Beberapa di antaranya masih digunakan di La Nora, sebuah tempat berjarak enam kilometer dari pusat Kota Murcia, Spanyol. Di sana, meski kincir air sudah diganti baja, sistem lama tidak berubah. Sistem irigasi ini ditransfer ke Spanyol dan diadaptasi untuk kondisi alam tertentu. Muslim dinilai berjasa dalam pengembangan irigasi di kawasan Mediterania Barat.
Tak hanya mengandalkan air sungai, pengetahuan irigasi dunia Islam juga mewariskan pengetahuan tentang cara menadah air hujan. Air permukaan tak hanya diambil dari mata air, sungai, dan oase, tapi juga dengan menciptakan sumur-sumur dan mata air baru.