REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Meski sudah banyak yang dilakukan pemerintah untuk perbaikan fisik madrasah, pembenahan kualitas madrasah butuh kemauan politik. Kemauan politik Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk madrasah masih dinilai kurang.
Guru Besar UIN Jakarta Amany B. Umar Lubis menjelaskan, walau Presiden Jokowi menjanjikan perbaikan, ada 17 ribu madrasah yang belum diakreditasi jadi indikasi masalah bersama. Untuk meningkatkan kualitas pendidikan, madrasah yang melakukan akreditasi harus memenuhi delapan standar dan untuk itu butuh dana. Selama dana kurang, kualitas madrasah juga tidak membaik.
Keseriusan Presiden Jokowi terhadap madrasah perlu diperhatikan. Apakah Jokowi pernah berkunjung ke madrasah atau ke pusat pendidikan yang berjasa bagi umat seperti Jokowi mengunjungi aneka proyek. Karena pembenahan kualitas madrasah tidak cukup dengan alokasi dana dan restrukturisasi direktorat madrasah di Kemenag.
''Kemauan politiknya belum cukup. Masyarakat mau saja memberi perhatian, tapi harus kerja sama semua, baik pemerintah, sekolah, dan masyarakat,'' ungkap Amany Lubis, Rabu (21/12).
Dua tahun ini sudah banyak yang dilakukan terutama perbaikan alokasi dana untuk fisik madrasah melalui Kemenag. Tapi dana untuk madrasah di Kemenag lebih sedikit dibanding dana untuk sekolah di Kemendikbud.
Meskipun sudah banyak madrasah yang mengenyam perbaikan fisik, gedung, dan kelas. Yang belum adalah perbaikan honor dan insentif sertifikasi guru madrasah, masih ada perbedaan signifikan antara honor guru agama di kota besar dengan daerah. Kualitas madrasah juga terlihat bedanya, baik negeri maupun swasta.
Usul agar dibuat restrukturisasi di Kemenag di mana pendidikan madrasah dibuat Direktorat Jenderal sendiri Amany lihat sama saja. ''Yang penting ada di manapun diurus, selama ada kemauan politik untuk meningkatkan pendidikan Islam, banyak yang bisa lakukan,'' ungkap Amany menjelaskan.
Restrukturisasi memisahkan pendidikan madrasah menjadi direktorat jenderal sendiri boleh saja. Tapi masalah lain seperti SDM, kesadaran, dan sosialisasi juga harus dibenahi. Di pendidikan Islam, guru-guru tampaknya masih kurang menghargai upaya siswa. Nilai akhir semester sering diberi rendah, bahkan ada kecenderungan sulit memberi nilai 90 atau 100.
Kalau pemahaman anak sudah bagus, jangan ragu memberi nilai 90-100. Nilai tinggi ini akan mengangkat kualitas dan kepercayaan diri siswa. Ini juga mendorong madrasah untuk memunculkan anak-anak yang jenius.
Madrasah yang belum diakreditasi karena banyak hal antara lain tempatnya di wilayah terpencil, belum ada SDM yang mengurus akreditasi dan standardisasi, wawasan dan kesadaran untuk meningkatkan kualitas melalui akreditasi juga kurang baik di pimpinan, guru, siswa, maupun orang tua siswa madrasah. Di Indonesia, pendidikan dipikul bersama pemerintah, sekolah, dan masyarakat.