REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Organisasi nirlaba Aksi Cepat Tanggap (ACT) menyatakan sekitar 104 ribu jiwa pengungsi yang tersebar di sejumlah titik di Kota Bima, Nusa Tenggara Barat, membutuhkan pasokan pangan. Dalam pernyataan resminya, Selasa (27/12), disebutkan kebutuhan pangan di Kota Bima tetap tinggi sampai dengan hari ke lima pascabanjir.
"Dapur di dalam rumah sudah tidak ada apa-apa lagi, lumpur semua. Bagaimana mau masak?," keluh Supono, seorang ibu berumur sekitar 60 tahun asal Kelurahan Nae.
Lantaran pangan siap saji masih sangat dibutuhkan, Tim Disaster Emergency Response Aksi Cepat Tanggap rutin menyiapkan ratusan bungkus makanan. Sehari setelah banjir besar, Sabtu (24/12), tim bergerak menyisir titik pengungsian, menjangkau warga korban banjir di jam sarapan pagi. Selain nasi dan lauk, paket susu juga biskuit diberikan untuk anak-anak.
Nasi, lauk ayam, telur dan sayuran spesial jadi menu setiap pagi. Ratusan paket itu sudah disiapkan sejak subuh. "Karena Kota Bima masih lumpuh, makanan matang untuk sarapan ini dibeli dari Kabupaten Bima. Ratusan bungkus Kami bawa sejak subuh, dari Kabupaten langsung ke Kota," ujar Andi, relawan Aksi Cepat Tanggap untuk respons banjir Bima.
Skala banjir yang menerjang Bima tidak bisa dianggap sepele. Dua kali banjir, Rabu dan Jumat lalu di pekan ke empat Desember, Kpiota di tepian Teluk Flores tersebut nyaris tenggelam seluruhnya karena banjir. Lima kecamatan seantero Kota Bima itu kini tinggal timbunan lumpur. Pemerintah Kota bahkan menyebut sembilan persen area Kota Bima tenggelam.
Luasnya area terdampak menyebabkan membludaknya jumlah pengungsian. Tak kurang dari 104 ribu jiwa pengungsi tersebar di sejumlah titik. Mulai dari Masjid kota, rumah tingkat, sekolah dasar, sekolah kejuruan, sampai gudang pupuk.