Oleh: Erie Sudewo*
============
Saya sungguh kecewa dengan diri saya yang sok berbeda, sok kritis, dan sok lebih tahu. Karena sok-sok itu saya jadi susah sendiri. Lihat saja bedanya. Anda pasti senang terima ucapan selamat tahun baru. Sedang saya malah uring-uringan.
Soal alasan, ya iya lah. Uring-uringan saya ada alasannya. Betul kan. Baru saja disinggung, saya kesulitan sendiri karena musti bela diri.
Coba gimana tak uring-uringan. Kemarin keperkasaan saya dihabisi 2016. Sekarang saya diminta ucapin pada tahun yang bakal gerogoti lagi kegagahan saya. “Ogah aaah!”
Yang lebih eduuun, banyak sms bilang: “Yuuuk hadapi tahun baru dengan semangat perubahan”. Masa sih perubahan yang merusak diri disalami dan disemangati.
Bukankah artinya jadi begini: “Selamat ya sudah habisi saya. Dan saya akan lebih bersemangat lagi menerima perubahan apes di diri saya. Dari muda jadi keriput. Dari cantik jadi peyot. Dan dari gagah jadi reyot”.
Gubraaak! Betul gak? Jadi sampai kapanpun saya tak akan pernah ucapkan selamat tahun baru. Titik!
Tahun baru identik dengan perubahan. Namanya juga baru. Tiap perubahan ada dua hal. Ke-1 apa yang diubah. Ke-2 gimana caranya. Apa yang diubah, itu isi. Bagaimana caranya itu kulit.
Rhenald yang Kasali bilang: “Berubah atau diubah!” Lugas kalimatnya, Tapi tak mudah jawabnya. Pesan Rhenald bicara isi, soal prinsip. Pilgub DKI jadi contoh besar. Pilih X dan bukan Y, keduanya punya dampak perubahan.
Saya bayangkan jangan-jangan ada keluarga yang bisa berantakan gara-gara pilgub DKI. Suami pilih A, isteri pilih B. Waktu coblos belum, adu mulut sudah mulai sambil nonton tv, di meja makan, atau dalam mobil. Solusinya? Entah. Namanya juga jangan-jangan.