REPUBLIKA.CO.ID, JOHANNESBURG -- Peneliti belum lama ini menemukan 30 ton karbon dioksida tersimpan dalam rawa di antara Republik Kongo dengan Republik Demokratik Kongo. Jumlah itu setara dengan emisi gas rumah kaca Amerika Serikat selama 20 tahun.
Karbon tersebut perlu dilindungi agar tidak memperburuk dampak perubahan iklim. Kelompok peneliti asal Inggris dan Kongo, yang menemukan rawa itu pada 2014 mengatakan lahan gambut tropika adalah tempat hidup gorila dan gajah hutan. Namun, temuan itu dikhawatirkan berdampak pada kebocoran gas, kata jurnal Nature edisi Rabu (11/1).
Emisi karbon dioksida kerap dihubungkan dengan dampak perubahan iklim. Lahan gambut yang terbentuk dari gabungan jasad renik makhluk hidup berubah menjadi penampungan karbon. Pada saat kering, gambut tidak membusuk sehingga organisme yang mengurai jasad mahluk hidup kembali aktif memproduksi karbon.
"Lahan gambut adalah salah satu cara menanggulangi perubahan iklim, artinya menjaga karbon tetap berada di sana merupakan prioritas utama," kata salah satu peneliti, yang juga ekolog Universitas Leeds, Simon Lewis.
Hutan lebat dan rawa-rawa di wilayah itu mampu dilindungi dari aktivitas pertambangan, tetapi peneliti menambahkan banyak lahan gambut di Indonesia, misalnya, masih terancam industri pertanian.
"Lahan gambut ini cukup terpencil, tetapi banyak kawasan serupa di Asia Tenggara yang mulanya tidak tersentuh, telah dikeringkan dan dialihfungsi menjadi sawah serta area tanam kelapa sawit. Perubahan itu menyebabkan bocornya karbon dioksida ke atmosfer," kata Lewis.
Peneliti menggabungkan teknologi modern dengan tradisional untuk menemukan dan memetakan wilayah tersebut. Mereka menggunakan citra satelit, serta mengunjungi lahan gambut itu untuk mengambil sampel.
Lahan gambut itu jika dilihat dari atas berbentuk seperti daun karena dikelilingi Sungai Kongo. Wilayah basah itu terletak di timur laut Republik Kongo dan wilayah barat Republik Demokratik Kongo.