REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum Asosiasi Petani Tembakau Indonesia, Soeseno, menyebut produksi tembakau nasional tidak terpengaruh kehadiran rokok elektrik yang belakangan mulai menjamur di kalangan anak muda. Menurutnya, sejak 2011 memang ada penurunan produksi tembakau yang berkisar di angka 1-2 persen per tahun. Namun, hal itu lebih banyak dipengaruhi oleh faktor gerakan anti-rokok yang terus digencarkan sejumlah pihak.
"Kelihatannya penurunan produksi itu justru karena tekanan regulasi dari pemerintah, seperti pembatasan kawasan merokok dan sejumlah aturan yang ada di Undang-Undang Kesehatan," ujarnya, dalam sebuah diskusi di kawasan Harmoni, Jakarta, Rabu (18/1).
Selain itu, menurut Soeseno, faktor lain yang juga memengaruhi penurunan produksi tembakau yakni adanya persaingan internal di industri rokok. Sejumlah produsen rokok besar kini banyak menyasar kalangan masyarakat yang menjadi segmentasi pabrik rokok kecil. Akibatnya, mereka kalah saing sehingga permintaan terhadap tembakau pun menurun.
Namun, Soeseno memastikan bahwa hampir semua produksi tembakau lokal terserap oleh industri. Bagaimanapun, kata dia, tembakau lokal lebih unggul dari segi kualitas dibanding tembakau impor dari Cina yang harganya lebih murah.
Soeseno masih optimistis produksi tembakau nasional dapat meningkat dua persen di 2017 di tengah gempuran yang menerpa industri rokok. Ia menyebut, industri rokok memiliki proyeksi 524 miliar batang sampai tahun 2020. Saat ini jumlah yang telah tercapai baru 365 ribu batang.
"Saya melihat tahun ini produksinya akan meningkat, karena industri kan tentu punya strategi supaya terus tumbuh," kata dia.