REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di bawah pemerintahan komunis Uni Soviet, baik budaya Tatar maupun Islam, ditekan bersama dengan identitas regional lainnya dan Kristen. Seorang profesor seni dekoratif di Academy of Sciences Tatarstan Guzel Valeeva-Suleymanova mengatakan bahwa pemerintah komunis Uni Soviet menilai bangsa Tatar sebagai kaum barbar.
Pada 1974, ayahnya, Fuad Valeev, diasingkan karena menulis buku-buku tentang ornamen Tatar. Valeeva-Suleymanova menambahkan, mengembangkan dan mempromosikan seni Tatar adalah tindakan berbahaya waktu itu. “Soviet benar-benar menentang gagasan bahwa kita memiliki budaya kita sendiri. Mereka ingin dilihat sebagai pembawa peradaban kepada kami,” katanya.
Dengan runtuhnya Uni Soviet pada 1990, ada lonjakan minat dalam warisan Tatar. Akses mencari buku-buku tentang Tatar terbuka lebar. Valeeva-Suleymanova dan ulama lain mulai dapat menyusun sejarah Tatar. Monarki Tatar yang terakhir tercatat berkembang pada 1438-1552. Museum Nasional, Museum Millennium, dan Galeri Khazine menampilkan perhiasan perak bertakhtakan permata, amethyst, dan batu mulia lainnya.
Ada pula gaun yang dijahit dengan cermat yang dihiasi pola bunga perak dan benang emas. Sebagai pelengkap adalah topi beludru berbentuk lonceng dengan bordir yang rumit. Kostum tradisional tersebut masih dikenakan untuk pernikahan dan festival panen Sabantui pada bulan Juni.
Kerajinan pakaian tradisional menghadapi tantangan dengan masuknya produk murah dari Cina yang bersaing dengan produk dari pengrajin. Tetapi, sebaliknya, bahasa dan sastra Tatar tampaknya berkembang. Naskah awal Tatar berusia lebih dari satu milenium. Sebuah organisasi penulis internasional Tatar PEN telah menerbitkan 43 buku dan 200 puisi.
Para penulis yang tergabung dalam organisasi ini bebas menulis apa yang mereka inginkan. PEN telah menerbitkan 20 buku karya penulis Tatar dalam bahasa Inggris, di antaranya yang ditulis oleh Gabdulla Tukay dan antologi puisi kontemporer dan prosa oleh 30 anggotanya.
Ikatan budaya dan ekonomi antara Tatar dan Turki tumbuh dengan cepat. Hal itu tercermin dari Festival Teater Internasional Rakyat Turki navruz yang diadakan selama satu pekan di Akademi Teater Negeri Kamal Tatar. Festival itu menyajikan sekitar 12 pertunjukan drama. Sebagai bagian dari kampanye itu adalah merapikan situs sejarah Kazan, salah satunya merenovasi rumah tempat novelis Leo Tolstoy pernah tinggal bersama bibinya saat ia masih mahasiswa. Begitu juga renovasi bangunan yang pernah ditinggali Maxim Gorky saat bekerja sebagai pemanggang roti pada awal abad ke-20. Rumah bata megah yang pernah menaungi Lenin sebelum ia diusir dari Universitas Kazan pada 1887 pun sekarang diubah menjadi museum.
Selain teater, musik, dan museum kelas dunia, ada festival internasional bagi opera, balet, film Muslim, band rock dan hip hop. Sirkus di kota ini merupakan yang terbaik di Rusia. Sebuah festival musik kontemporer tahunan bertajuk “Eropa-Asia” menyatukan komposer dan seniman dari seluruh Rusia, Prancis, Amerika, Cina, Mongolia, Tajikistan, dan negara-negara lain. Bangunan baru dibuat sebagai persiapan Universiade 2013, semacam olimpiade musim panas bagi mahasiswa yang diharapkan dapat menarik 12 ribu atlet dari 170 negara.
Tidak bisa dimungkiri bahwa warga Kazan sangat bangga dengan identitas Tatar mereka. Mereka melestarikan budaya Tatar dengan cara yang mereka bisa. Di satu sisi, mereka menjaga hubungan persaudaraan dengan sesama warga Rusia. Meski pernah distereotipkan sebagai kaum barbar, mereka tetap berpegang teguh pada budayanya.
Kunci melestarikan identitas mereka terletak pada hubungan generasi yang kuat. Kaum Tatar mengisolasi diri saat masa kekuasaan Rusia agar tidak terpengaruh budaya Rusia. Setiap desa seperti sebuah negara kecil yang independen. Dengan cara ini, mereka mampu melestarikan warisan budaya selama berabad-abad.