REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia Zainut Tauhid Sa'adi mengatakan rencana program sertifikasi khatib Jumat oleh pemerintah sebaiknya tidak bersifat wajib tetapi sukarela.
"MUI dapat memahami gagasan Menteri Agama tersebut sepanjang program tersebut bersifat voluntary (sukarela) bukan mandatory (keharusan atau kewajiban)," kata Zainut di Jakarta, Senin (6/2).
Dia mengatakan sifat sukarela harus dikedepankan daripada bersifat kewajiban yang memiliki konsekuensi hukum.
Karena, kata dia, tugas dakwah pada hakikatnya menjadi hak dan kewajiban setiap orang sesuai perintah agama. Jika sertifikasi bersifat mandatory maka akan sangat sulit dilaksanakan dan dikhawatirkan terkesan ada intevensi atau pembatasan oleh pemerintah.
Jika sudah begitu, lanjut dia, program sertifikasi justru akan menjadi kontraproduktif bagi banyak pihak.
Dia mengatakan sertifikasi itu sejatinya memiliki tujuan baik yaitu untuk meningkatkan kapasitas, kapabilitas dan kompetensi da'i baik dari aspek materi maupun metodologi.
"Disadari atau tidak kondisi masyarakat kita tengah berubah seiring terjadinya perkembangan teknologi dan informasi. Jadi keharusan untuk meningkatkan kemampuan da'i mutlak diperlukan agar benar-benar dapat menyampaikan pesan-pesan agama secara baik dan paham kondisi faktual serta kebutuhan masyarakat sesuai zaman," kata dia.
Akan tetapi, kata dia, program tersebut harus dilaksanakan oleh ormas Islam atau masyarakat bukan oleh pemerintah.
Pemerintah, lanjut dia, seharusnya hanya bertindak sebagai fasilitator sehingga akan mendorong partisipasi masyarakat untuk ikut bertanggung jawab dalam menyiapkan kader-kader dakwah yang mumpuni baik dari aspek materi maupun metodologi.