REPUBLIKA.CO.ID, MERSEYSIDE – Gelombang kedatangan pengungsi dari Timur Tengah ke daratan Eropa belakangan terus menjadi isu yang diperdebatkan. Sebagian pihak membuka tangan untuk menerima, lainnya dengan keras menyuarakan penolakan.
Dari dunia sepak bola Benua Biru, para pelakon lapangan hijau justru kerap memberikan dukungan. Tak sedikit berita mengabarkan kebijaksanaan sejumlah klub dan pemain yang mendukung dibukanya pintu Eropa untuk para korban perang tersebut.
Baru-baru ini, bek Liverpool Dejan Lovren menyampaikan pendapatnya mengenai kedatangan gerbong pengungsi ke Eropa. Dalam sebuah video dokumenter tentang pengungsi korban perang yang disiarkan melalui Liverpool FC TV, Lovren mengungkapkan tentang berat dan dukanya hidup menjadi pengungsi. "Saya adalah seorang pengungsi," kata bek timnas Kroasia ini dalam video yang juga dipasang di laman resmi Liverpool, dikutip Kamis (9/2).
Bek kelahiran tahun 1989 silam ini mengatakan, sebelum mendapatkan kehidupan layak seperti sekarang, hidupnya sempat menemui ketidaktentuan. Saat masih berusia empat tahun, Lovren dan keluarganya harus meninggalkan negara tempat dia dilahirkan, Yugoslavia (sekarang Bosnia dan Herzegovina).
Lovren menuturkan, menurut kisah orang tuanya, kehidupan di Kota Kraljeva Sutjeska tempat dia dilahirkan sangatlah tentram. Dia mengungkapkan, keluarganya adalah etnis Kroasia nasrani. Di kota mungil itu, dia dan keluarganya punya kehidupan rukun dengan para tetangga yang mayoritas merupakan kaum muslim dan orang-orang etnia Serbia.
Seluruh warga setempat, kata dia, hidup bahagia dan memiliki segala hal yang dibutuhkan. "Namun perang tiba-tiba saja terjadi," kata Lovren. Perang yang Lovren maksud adalah Pertikaian bersenjata antara etnis Serbia dan etnis Kroasia di Yugoslavia. Perang ini meletus Maret 1992 dan baru berakhir tiga tahun kemudian.
Lovren mengatakan, sebelum perang tersebut usai, dia dan keluarganya yang terdiri dari ibu, paman, dan istri pamannya memutuskan pergi dari Yugoslavia. Hanya membawa sebuah tas, mereka sempat bersembunyi di basement rumah saat perang meletus. "Bom dimana-mana, saya masih ingat saat ibu saya membawa saya ke basement," kata eks penggawa Southampton ini.
Lovren melanjutkan, di tengah situasi perang yang mulai menghabisi kota kelahirannya itu, akhirnya sang ibu memutuskan hal berani. Dengan bermodalkan sebuah mobil yang penuh dengan bahan bakar, Lovren dan keluarganya pergi meninggalkan tanah leluhur mereka. Keempatnya lalu melaju menempuh perjalanan panjang menuju negara terdekat, Jerman. "Kami berkendara tanpa henti selama 17 jam," kata Lovren.
Bek penuh tato ini mengatakan, semua hal yang dimiliki keluarganya ditinggalkan di Bosnia. Sesampainya di Jerman, mereka lalu mulai membuka lembaran baru. Di sana, Lovren mulai menunjukkan kertertarikan tinggi terhadap sepak bola.
Bayern Muenchen, jadi klub yang digemarinya. Namun tidak lebih dari tiga tahun Lovren dan keluarganya hidup sebagai pengungsi di Jerman. Oleh karena ketika itu, ibunya memutuskan untuk membawa Lovren pindah dan menetap di Kroasia.
Dulu sebelum perang Yugoslavia meletus, Kroasia memang sudah memisahkan diri dari negara Eropa timur itu pada 1991. Sejak saat itulah, kehidupan keluarganya mulai membaik hingga terus meningkat dan berkecukupan. Lovren berujar, hal ini bisa terjadi karena negara barunya tersebut memberikan akses menuju kehidupan sejahtera yang sangat luas. Besar luasnya, kata dia, sama antara penduduk asli dan para pendatang.
Garis hidup inilah yang Lovren harapkan bisa dirasakan pula oleh para pengungsi asal Timur Tengah di Eropa. Bekas palang pintu Dinamo Zagreb ini mengatakan, hatinya tersayat ketika melihat para pengungsi yang tak bisa masuk ke Eropa karena adanya penolakan. "Saya tahu rasanya ketika orang lain tak mau kita ada di negaranya," ujar dia. Lovren berharap, masyarakat Uni Eropa maupun negara aman lainnya mau menerima para pengungsi yang sekarang jumlahnya mencapai jutaan ini. Dia mengatakan, di lubuk hati para pengungsi ini pun sebenarnya tak mau sampai harus pergi meninggalkan kota tempat asal mereka.
Namun, kata Lovren, mereka terpaksa menjadi kaum terbuang akibat ulah orang lain. Sampai rumah, mata pencaharian serta segala kenangan manis harus direlakan hancur di negara tempat mereka dilahirkan. "Mereka hanya ingin mencari tempat aman untuk anak-anak mereka dan masa depan anak-anak mereka," ujar dia.
Lovren lantas mengajak seluruh warga Eropa khususnya mereka yang mencintai sepak bola untuk menunjukkan satu rasa kemanusiaan. Menurutnya, siapapun akan sangat membutuhkan bantuan orang lain andai ada dalam posisi pengungsi perang. Maka dari itu, sebagai masyarakat yang jauh lebih maju dan berkecukupan, menurut dia warga Eropa hendaknya membuka tangan untuk para pengungsi perang ini.
Kota tempat klub Liverpool bernaung di Merseyside, Inggris bagian barat memang ikut menaruh kepedulian terhadap para pengungsi korban perang. Aktivitas para sukarelawan di kota kelahiran grup musik legendaris the Beatles itu tergabung dalam organisasi kegiatan se-Inggris Raya yang bernama Refugge Action.
Dari laman resmi organisasi ini, tampak dilakukan ragam upaya penerimaan dan penggemblengan para pengungsi perang agar bisa berdaya saing untuk hidup di Britania Raya. Bahkan, lowongan pekerjaan di kota-kota Inggris seperti Liverpool pun dicarikan oleh organisasi ini untuk para pengungsi. "Berikan mereka kesempatan, beri mereka ruang untuk mendapatkan kehidupan yang sepantasnya manusia," tegas Lovren.