Ahad 12 Feb 2017 21:03 WIB

Pengusaha Tambang Diminta Kebut Pembangunan Smelter

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Dwi Murdaningsih
Smelter (Ilustrasi)
Smelter (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perusahaan pertambangan diminta memacu pembangunan fisik fasilitas pengolahan dan pemurnian atau smelter mereka. Hal ini setelah Kementerian Keuangan menetapkan besaran tarif bea keluar ekspor konsentrat yang dibuat 4 layer (lapis). Kebijakan tarif bea keluar ini menyusul Peraturan Pemerintah (PP) nomor 1 tahun 2017. Sementara tinggi rendahnya tarif akan melihat sejauh mana perkembangan pembangunan smelter.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Suahasil Nazar menjelaskan, langkah ini diambil untuk memacu pengusaha membangun smelter mereka. Semakin pesat kemajuan pembangunan smelter, maka semakin rendah bea keluar yang wajib dibayar pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan IUP Khusus (IUPK).

"Kita berharap bahwa peningkatan nilai tambah di dalam negeri bisa maksimal. Tentu dengan pembangunan smelter yang secepat mungkin. Jadi memaksimalkan penciptaan nilai tambah di dalam negeri di domestik menjadi sangat penting. Itu lah mengapa dibuat layering dalam bea keluar ini," ujar Suahasil, akhir pekan ini.

Pemerintah Bentuk Tim Independen Pengawas Pembangunan Smelter

Pekan ini pemerintah memutuskan ada sedikit perubahan lapisan tarif bea keluar ekspor konsentrat mineral tambang, menyusul implementasi Peraturan Pemerintah (PP) nomor 1 tahun 2017 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Pemerintah memutuskan ada 4 lapis tarif yang mengacu pada sejauh mana pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian mineral tambang atau smelter bisa dilakukan.

Nantinya, penjelasan soal 4 lapis tarif baru ini akan dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang dirilis dalam waktu dekat. PMK ini sudah ditandantangi oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani namun belum dirilis pekan ini. Dbuatnya 4 lapis tarif bea keluar ekspor konsentrat ini juga disebut bisa menambah potensi penerimaan negara dari bea keluar hingga Rp 5 triliun per tahun.

Berdasarkan beleid yang baru maka bea keluar sebesar 7,5 persen harus dibayarkan pemegang Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) bila perkembangan smelter berada di rentang 0 (nol) hingga 30 persen. Sedangkan di lapisan kedua, bea keluar sebesar 5 persen diterapkan untuk perkembangan smelter di rentang 30 sampai 50 persen.

Di lapis ketiga, tarif bea keluar 2,5 persen dikenakan kepada pemegang IUPK bila smelter bisa terbangun dengan progres 50 hingga 75 persen. Terakhir, pemegang IUPK berhak menanggung tarif bea keluar nol persen bila progres smelter menyentuh 75 persen ke atas. Sementara tarif bea keluar untuk bijih nikel dan bauksit kadar rendah dikenakan bea keluar 10 persen.

Hitung-hitungan tarif bea keluar ini berbeda dengan kebijakan sebelumnya dalamPeraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 153/PMK.011/2014 tentang Penetapan Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar. Dalam aturan yang kedaluwarsa pada Januari 2017 tersebut, dijelaskan bahwa tarif 7,5 persen dikenakan untuk progres nol hingga 7,5 persen. Sedangkan bila kemajuan pembangunan smelter kurang dari 30 persen, maka tarif bea keluar 5 persen, dan tarif nol persen untuk kemajuan pembangunan smelter di atas 30 persen.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement