REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pada masa hidupnya di dunia, Profesor Paul Ehrenfest punya segalanya. Dia dicintai teman sejawat, disayangi para pelajar dan murid hingga punya kedudukan di Universitas Leiden. Fisikawan asal Austria ini pun terkenal penyayang dan tak punya musuh.
Hingga pada satu hari di September 1933, kolega Albert Einstein ini membunuh anaknya dan menghabisi diri sendiri. Surat Ehrenfest kepada kawannya, Prof Kohnstamm membuka tabir misteri kematian Ehrenfest. Dari korespondensi tersebut, terungkap bahwa keputusan sang profesor untuk membunuh dua nyawa bukan perbuatan yang diburu nafsu. Perbuatan itu merupakan ujung dari satu perenungan yang lama. Satu bentuk keputusasaan dari pertanyaan-pertanyaan yang tak terjawab.
Di dalam Kapita Selekta, Mohammad Natsir sempat bercerita tentang Ehrenfest. Di balik semua kedigjayaannya di dunia, semakin banyak pertanyaan yang menganga. Masih ada hajat ruhani yang tak dapat dipuaskan. Rohaninya dahaga kepada suatu tempat berpegang yang teguh, satu barang yang absolut, yang mutlak. Tempat menyangkutkan sauh bila ditimpa gelombang kehidupan. Tempat bernaung yang teduh bila jiwa merasa kering.
Ehrenfest mempunyai anak yang dicintainya. Dia berharap anak penderita down sindrome ini bisa meneruskan pekerjaannya. Dia pun memberikan anaknya dengan pendidikan terbaik. Hanya, ketidaksempurnaan otak anaknya membuat buah hatinya itu tak bisa dipaksa mengikuti karier ayahnya. Semua upaya Ehrenfest untuk menjadikan anaknya sosok jenius baru pun gagal.
Saat itu, dia putus asa yang menghancurkan iman. Sang penemu teori adiabatik itu iri karena melihat orang-orang di sekelilingnya memiliki anak-anak sehat dan pintar. Dia ingin berada di posisi orang-orang itu. Orang-orang yang memiliki ketenangan jiwa karena punya tempat bergantung. Akan tetapi, samua itu tak dapat dipenuhinya. Sebagai seorang Ateis, Ehrenfest hanya bisa iri melihat mereka.
"Yang tak ada pada saya ialah kepercayaan kepada Tuhan. Agama adalah perlu. Tetapi, barang siapa yang tidak mampu memiliki agama, ia mungkin biasa lantaran itu," tulis Ehrenfest seperti diterjemahkan oleh Nasir. Secara khusyuk, Ehrenfest pun berdoa kepada Tuhan di saat-saat terakhir. "Mudah-mudahan Tuhan akan menolong kamu, yang amat aku lukai sekarang ini."
Kebutuhan akan agama tak hanya terjadi pada sosok seperti Ehrenfest. Dalamnya dahaga manusia untuk tempat bergantung, tempat memohon dan tempat bersujud kepada Sesuatu Yang Maha tak lekang oleh zaman bahkan, sejak manusia diciptakan. Di dalam Alquran, Allah SWT berfirman mengenai fitrah manusia ini. "Wahai manusia, kamulah yang butuh kepada Allah dan Allah, Dialah Yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji." (QS Fathir: 15).