Rabu 01 Mar 2017 00:10 WIB

Komnas HAM: Korporasi Perkebunan Terbanyak Lakukan Pelanggaran HAM di Sumut

Rep: Issha Harruma/ Red: Maman Sudiaman
Siti Noor Laila
Siti Noor Laila

REPUBLIKA.CO.ID, MEDAN -- Pelanggaran HAM pada sektor korporasi perkebunan, baik swasta maupun perusahaan BUMN, menjadi persoalan yang paling banyak diadukan terjadi di Sumut. Komnas HAM menilai, tidak banyak perubahan yang dilakukan perusahaan perkebunan untuk menghindari pelanggaran HAM sejak dulu.

Komisioner Komnas HAM, Siti Noor Laila mengatakan, salah satu pelanggaran HAM yang kerap dilakukan perusahaan perkebunan, yakni mempertahankan status buruh mereka sebagai pekerja lepas.

"Padahal peraturan ketenagakerjaan jelas menyebutkan, pekerjaan yang sifatnya terus menerus dikerjakan dan menjadi pekerjaan pokok di perusahaan tersebut, maka pekerjanya harus diangkat menjadi karyawan," kata Siti dalam sebuah diskusi di Medan, Selasa (28/2).

Siti mengatakan, perusahaan perkebunan kerap memanfaatkan konsep outsourcing sebagai dalih praktik pelanggaran yang mereka lakukan. Padahal dalam aturan yang ada disebutkan, pekerja outsourcing hanya diperbolehkan pada sektor pekerjaan yang tidak menjadi pokok di perusahaan tersebut.

"Contohnya, office boy ataupun driver kantor. Kalau mereka tidak ada kan perusahaan masih tetap bisa jalan karena yang mereka kerjakan bukan pokok usaha. Beda dengan penyadap getah karet atau pendodos sawit yang harusnya jadi karyawan karena tanpa mereka perusahaan tidak jalan," ujar Siti.

Menurut Siti, hingga sekarang, pengawasan mengenai pelanggaran ini belum efektif karena metode yang bersifat desentralisasi. Pengawasan, lanjutnya, hanya dilakukan oleh SKPD yang berada di bawah kendali kepala daerah. Hal ini, kata Siti, sedikit menyulitkan mengingat tidak sedikit pemilik perusahaan yang memiliki hubungan dengan kepala daerah. "Kalau pengawasnya merupakan staf kepala daerah maka ini tidak akan efektif," ujar dia.

Terkait permasalahan ini, Siti mengatakan, pihaknya pernah mengusulkan agar dilakukan sentralisasi pengawasan ketenagakerjaan atau terpusat pada satu badan di bawah Kementerian Ketenagakerjaan. Namun, bukannya disetujui, pengawasan justru dialihkan dari tingkat kabupaten/kota ke level pemerintah provinsi. Dia pun berharap, pemerintah dan semua pihak dapat lebih membuka mata terkait permasalahan yang jelas terjadi ini.

"Padahal itu tidak berbeda dengan pengawasan yang dilakukan di tingkat daerah. Artinya, pengawasan masih belum efektif juga," kata Siti.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement