REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Garam konsumsi beryodium mulai mengalami kelangkaan. Direktur Industri Kecil Menengah (IKM) Pangan Barang dari Kayu dan Furnitur Kementerian Perindustrian Sudarto mengatakan, kelangkaan tersebut diakibatkan oleh faktor cuaca yang menyebabkan produksi garam menurun.
Menurut dia, sentra garam di Jawa Barat dan Jawa Tengah saat ini hanya memiliki cadangan garam untuk dua sampai tiga bulan ke depan. Karena itu, mereka sudah tidak dapat mengirim garam konsumsi ke industri yang ada di sejumlah daerah. Biasanya, garam yang dihasilkan petani akan diolah oleh industri untuk dinaikkan kualitasnya kemudian dikemas dan dipasarkan.
Untuk mencegah lonjakan harga garam, menurut dia, pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah mengeluarkan rekomendasi pada PT Garam untuk melakukan impor. "Kami mendengar rekomendasi sudah keluar. Paling cepat satu bulan setelah rekomendasi keluar barang dari luar bisa masuk," ujarnya kepada wartawan di gedung Kementerian Perindustrian, Jumat (3/3).
Sudarto menyebut, ketersediaan stok garam konsumsi lebih penting daripada cabai atau daging. Sebab, garam menjadi bumbu masak paling utama hampir di setiap makanan yang dikonsumsi masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, diperlukan langkah antisipasi dengan cara impor garam.
Kebutuhan garam nasional saat ini mencapai 4,3 juta ton per tahun, terdiri dari garam untuk konsumsi dan industri. Pada 2016, Indonesia mengimpor 3 juta ton garam. Angka tersebut lebih tinggi daripada volume impor pada tahun sebelumnya yang hanya 2,1 juta ton.
Berhasil atau tidaknya panen garam amat dipengaruhi oleh cuaca. Sinar matahari dan cuaca panas menentukan kualitas garam yang dihasilkan para petani. Tahun lalu, saat terjadi anomali cuaca La Nina yang memicu turunnya hujan dengan intensitas tinggi di musim kemarau, produksi garam rakyat merosot tajam. Kementerian Kelautan dan Perikanan mencatat, petani hanya mampu memproduksi 144 ribu ton garam, atau hanya 4,6 persen dari target 3 juta ton yang ditetapkan.