REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua PP Pemuda Muhammadiyah Bidang Hukum, Faisal meminta KPK bisa memfokus pada penelusuran penerima dana proyek KTP Elektronik (KTP-el) yang kini ramai menjadi perbincangan di masyarakat. Menurutnya penanganan kasus KTP-el terbilang cukup lama dari sebelum penetapan tersangka sampai dimulainya proses persidangan.
Meskipun KPK bisa berdalih mereka mempunyai tekhnik ataupun strategi dalam mengumpulkan alat bukti, harus diakui penanganan kasus e-KTP masih memakai pola pola lama. "KPK menyisir dari pinggir untuk sampai pada kepusaran aktor utamanya," kata dia kepada Republika.co.id, Jumat (10/3).
KPK terbilang lembaga yang dijamin oleh UU (undang undang), karena itu menurut dia, semestinya bisa bertindak cepat dan tepat dalam menetapkan tersangka pada kasus KTP-el. Menjadi aneh, jika dalam penyidikan seseorang sudah disebut terindikasi menerima aliran dana proyek KTP-el, lalu tidak diikuti dengan mencari dan menguatkan alat bukti dari pengakuan saksi ataupun tersangka.
"Dugaan sementara, karena si penerima aliran dana cukup banyak mungkin KPK tidak mau gegabah," jelasnya.
Padahal, jika publik mengikuti beberapa kasus yang tersangkanya adalah anggota DPR cara bekerjanya niat jahat itu belum ditemukan adanya formula baru. Pasti berkisar pada rente persetujuan anggaran dan proyek. Motifnya pun meminta fee dari persetujuan proyek.
Ditambah lagi, anggota DPR yang disebut dalam dakwaan JPU tidak sedikit. Hal itu justru dapat memudahkan KPK dalam memantapkan penindakan dan pengembangan kasus kepada mereka yang disebut namanya.
Sebelumnya kasus megaskandal korupsi menyeret banyak nama penting. Dalam surat dakwaan dalam sidang kasus korupsi KTP-el untuk dua terdakwa Irman dan Sugiharto, menyebut setidaknya 14 nama yang terdiri dari Anggota DPR Komisi II periode 2009-2014 dan Mendagri saat itu, Gamawan Fauzi.
Ke semua nama tersebut diduga menerima aliran dana proyek KTP-el. Sebagian nama-nama tersebut bahkan kini menjadi pejabat penting di pemerintahan dan legislatif seperti di antaranya, Menkumham Yasonna Laoly dan Ketua DPR Setya Novanto.