Rabu 29 Mar 2017 15:53 WIB

Mayoritas Warga Israel Tolak Pembentukan Negara Palestina

Rep: Puti Almas/ Red: Teguh Firmansyah
Palestina
Palestina

REPUBLIKA.CO.ID, YERUSALEM -- Sebuah survei yang dilakukan oleh Jerusalem Center for Public Affairs menunjukkan bahwa 64 persen warga Israel tidak bersedia mendukung penarikan pasukan Zionis dari Tepi Barat. Selama ini, hal itu menjadi bagian dari perjanjian perdamaian untuk menjadikan Palestina sebagai sebuah negara.

Dalam jajak pendapat itu juga terlihat bahwa hanya 10 persen warga Isreal yang setuju untuk menyerahkan  Haram as-Sharif di Kompleks Al Aqsa ke Palestina. Sementara 83 persen lainnya menentang ide tersebut.

"Sebanyak 79 persen meyakini bahwa sangat penting mempertahankan Yerusalem berada di awah kedaulatan Israel dan 15 persen lainnya mengatakan tidak demikian," tulis survei yang dilakukan Jerusalem Center for Public Affairs seperti dilansir Middle east Monitor, Rabu (29/3).

Banyak warga Israel yang terlihat memiliki pemikiran yang berbeda terhadap perjanjian perdamaian kedua pihak. Sebelumnya, sekitar 60 persen warga menyetujui penarikan pasukan dari Tepi Barat. tepatnya pada 2005 lalu.

Israel berkonflik dengan Palestina sejak perang pada 1967 lalu. Saat itu, Israel menetapkan kebijakan pembangunan permukiman Yahudi di sejumlah wilayah yang dianggap sebagai hak atas Palestina yaitu Tepi Barat, Jalur Gaza, dan Yerusalem Timur.

Solusi dua negara menjadi salah satu opsi untuk mengakhiri konflik Palestina-Israel. Dengan hal itu, Palestina akan menjadi sebuah negara merdeka dalam wilayah-wilayah yang selama ini menjadi sengketa.

Kemudian, sebagai bagian dari perjanjian damai Israel dan Palestina yang dikemukakan oleh mantan presiden Amerika Serikat (AS) Bill Clinton, Yerusalem juga akan dibagi sebagai Ibu Kota kedua negara. Temple Mount diserahkan kepada Palestina, sementara Isreal mempertahankan Tembok Barat.

Baca juga, Marah dengan Zionis, Hamas Tutup Perbatasan Gaza-Israel.

Keengganan warga Israel untuk mendukung perjanjian damai dengan Palestina disebut salah satunya akibat tidak adanya tekanan dan intervensi dari negara-negara Arab. Kemudian kontrol politisi sayap kanan di parlemen Israel membuat timbulnya warga dengan pemikiran ala ektremis Yahudi.

Dalam sebuah wawancara, direktur jenderal Kementerian pariwisata Jericho, Iyad Hamdan mengatakan peningkatan ektremisme masyarakat Yahudi berdampak pada pembentukan negara Palestina. Di masa depan, mereka diprediksi dapat menjadi jauh lebih radikal dan melakukan segala cara untuk mengakhiri perjanjian damai dua belah pihak.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement