REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) asal Sulawesi Selatan, AM Iqbal Parewangi, menegaskan anggota DPD RI harus mengedepankan rasionalitas berbasis hukum dalam bersikap. Namun dia menambahkan, membangun kesadaran itu sangatlah tidak mudah. Termasuk saat memilih apakah masa jabatan pimpinan DPD RI tetap lima tahun atau 2,5 tahun.
Hal inilah salah satu yang menjadi pemicu terjadinya kericuhan saat sidang sidang Paripurna DPD RI yang berlangsung Senin (3/4). “Pada saat yang sama, dari tengah sidang Paripurna yang masih berlangsung ini, terbesit doa dan harapan takzim di benak saya. Kiranya masyarakat berkenan mendoakan agar ini bisa kami selesaikan dengan keputusan yang tidak melanggar hukum,” harap Iqbal, Senin (3/4).
Menurutnya, sidang Paripurna hari ini sudah diawali kericuhan. Iqbal mengatakan hal itu memang sangat memalukan. Meski tidak ikut terlibat kericuhan, dia mengatakan secara terbuka Paripurna yang berlangsung titik pijaknya adalah taat hukum termasuk terhadap putusan Mahkamah Agung (MA).
Namun dia memandang DPD RI perlu minta maaf kepada masyarakat khususnya di daerah. Sebab anggota DPD RI adalah wakil daerah, bukan wakil Partai Politik (Parpol). “Putusan MA yang membatalkan Tatib 2017 maupun Tatib 2016 DPD RI bersifat final dan mengikat. Konsekuensi logisnya, kembali ke Tatib 2014 DPD RI dimana masa jabatan Pimpinan DPD RI sama dengan masa jabatan Anggota DPD RI yaitu lima tahun,” tambahnya.
(Baca Juga: Sidang Paripurna DPD Ricuh, Kopel: DPD Lupa Mandat Lembaga)
Iqbal menjelaskan, dalam Tatib 2017 maupun Tatib 2016 DPD RI disebutkan masa jabatan Pimpinan DPD RI adalah 2,5 tahun. Menudur dia, dengan adanya putusan MA yang membatalkan kedua Tatib tersebut, maka masa jabatan pompinan DPD RI kembali menjadi lima tahun. Kemudian konsekuensi langsungnya, Pemilihan pimpinan DPD RI yang semula dijadwalkan hari ini harus batal demi hukum.
“Inilah salah satu pemicu utama meluapnya emosi beberapa senator, sampai ada yang tega "membanting" salah seorang rekan kami Senator Yogyakarta, Afnan Hadikusumo,” kata Iqbal.
Apalagi, sambung Iqbal, Indonesia adalah negara hukum, dan putusan MA tersebut merupakan perangkat hukum yang bersifat final dan mengikat. Selanjutnya, putusan MA tersebut dapat mengantarkan DPD RI kembali ke rel keteraturan. Itu setelah hampir setahun terakhir mengalami gonjang-ganjing suksesi. “Ada relasi mutlak antara aturan dan keteraturan. Tanpa aturan tidak akan ada keteraturan,” tutupnya.