REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Meskipun Turki merupakan negara sekuler, pertumbuhan keagamannya sangat mencolok. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya penduduk yang menjadi anggota sekte-sekte keagamaan. Sekte Nur yang didirikan Said Nursi (1873-1960), misalnya, sampai beranggotakan sekitar 300 ribu orang.
Dalam bidang sarana keagamaan, Turki sekarang memiliki tidak kurang dari 62 ribu masjid dan pembangunan masjid mencapai 1.500 buah per tahun. Penjualan buku-buku dan kaset-kaset keagamaan menunjukkan angka peningkatan yang sangat besar. Selain itu, telah dibangun lebih dari 2.000 sekolah Alquran.
Pergulatanan Islam dan sekularasi di Turki menemui puncaknya sejak Republik Turki dideklarasikan pada 29 Oktober 1923. Proklamasi tersebut menyusul dihapuskannya Kesultanan Ottoman pada 1 November 1922.
Presiden pertama yang dipilih adalah Mustafa Kemal Attaurk, pendiri Turki modern (1881-1938). Sampai 1945, partai yang berkuasa dan partai satu-satumya di Turki adalah Partai Rakyat Republik.
Sejak 1928, Turki berubah menjadi negara sekuler dengan dihapuskannya ketentuan mengenai Islam sebagai agama resmi negara dalam undang-undang yang berlaku. Walaupun demikian, umat Islam tetap merupakan mayoritas dan bebas melakukan ajaran agamanya serta berhasil memberikan kemajuan.
Ketika itu, kelompok-kelompok Islam tidak mampu menentang prinsip-prinsip sekularisasi yang berlaku secara langsung, meskipun mereka tetap menekankan fakta bahwa hubungan sosial dalam masyarakat Islam didasarkan pada norma-norma agama.
Inilah mengapa sebabnya ketegangan antara sekularisasi dan kesepakatan untuk kembali ke Islam menjadi masalah yang berkepanjangan.