REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Seorang perempuan tua mendatangi Rasulullah. Beliau menyambut hangat kedatangannya. Tak lama berselang, perempuan itu mengungkapkan namanya, Juthamah al-Muzainah. Rasul mengingatnya dan menanyakan bagaimana keadaan Juthamah selama ini. "Baik, Rasul," ujar Juthamah.
Dengan ramah, Rasul kemudian bercakap-cakap dengan Juthamah dan gelak tawa menyelingi percakapan mereka. Dalam buku Rasulullah Manusia tanpa Cela diungkapkan, para sahabat yang ada di dekatnya dipenuhi rasa ingin tahu. Mereka bertanya siapakah perempuan tua itu.
"Dulu, dia sering datang saat Khadijah masih hidup. Setia adalah setengah dari iman," kata Rasul. Perempuan itu dianggapnya sebagai orang yang sudah dekat dan Nabi Muhammad mempertahankan hubungan baiknya dengan perempuan bernama Juthamah tersebut.
Menurut Imam al-Ghazali, ini merupakan perwujudan sikap setia, yaitu keteguhan dalam kasih sayang terhadap orang lain, termasuk pada saudara dan sahabat.
Keramahan Muhammad terhadap perempuan tua itu diakibatkan oleh rasa kasih sayang karena Allah SWT. Al-Ghazali dalam bukunya, Terampil Berteman dengan Siapa Saja menambahkan, bagian dari kesetiaan adalah tidak membiarkan hubungan dengan saudaranya memburuk.
Di sisi lain, kesetiaan tentu tak sampai mengantarkan seseorang bersepakat dalam hal yang bertentangan dengan agama. Sebuah catatan mengisahkan, cendekiawan Muslim, al-Syafii menjadikan Muhammad bin Abd al-Hakam sebagai saudaranya. Keduanya sangat dekat.
Suatu hari, al-Syafii mengungkapkan hanya Muhammad yang menahannya untuk tetap tinggal di Mesir. Ketika Muhammad jatuh sakit, al-Syafii menjenguknya dan mendoakannya. Banyak orang berspekulasi bahwa dia akan menggantikan al-Syafii ketika wafat.
Pertanyaan mengenai siapa penggantinya, muncul dari beberapa orang yang menunggui al-Syafii yang sedang sakit dan di ambang ajal. Muhammad yang ada di sana berdiri agar terlihat oleh al-Syafii dan ditunjuk sebagai penggantinya. Tak disangka, al-Syafii menyebut Abu Yaqub al-Buwayti.
Al-Buwayti diyakini memiliki kapasitas ilmu yang cukup untuk membimbing murid-murid al-Syafii sepeninggalnya. Dalam hal ini, al-Syafii tak ingin menutup mata mengenai kecakapan al-Buwayti meski dia menjalin persahabatan yang sangat akrab dengan Muhammad.
Amr Khaled, dai dan motivator ternama asal Mesir mengungkapkan pula jenis kesetiaan lain yang dicontohkan Rasulullah. Di Makkah, waktu orang kafir menindas Muslim, ada seorang laki-laki kafir bernama Abu al-Bukhturi bin Hisyam yang tak ikut melakukannya.
Bukhturi tak tergabung dalam perjanjian mengisolasi kaum Muslim. Rasul tetap mengingat orang ini walaupun telah pindah ke Madinah. Menjelang terjadinya Perang Badar, Rasul mengingatkan sahabatnya agar tak membunuh orang itu kalau bertemu di medan pertempuran.
Seorang sahabat ternyata bertemu Bukhturi dan membiarkannya. Dia menyerang dan membunuh musuh yang ada di samping Bukhturi. Mengalami kejadian itu, Bukhturi bertanya kepada sahabat itu dan menjawabnya bahwa apa yang dia lakukan sesuai perintah Muhammad SAW.
"Jika aku menyerang, bagaimana?" tanya Bukhturi. Sahabat menjawab, "Aku tak akan melayanimu." Sayang, Bukhturi benar-benar menyerang dan akhirnya ia harus menghadap maut.
Sahabat tadi bergegas menghadap Muhammad dan menceritakan peristiwa yang dialaminya.
Ia membunuh Bukhturi karena mencoba membunuhnya. "Semoga Allah mengampunimu," ujar Rasul. Khaled, dalam Buku Pintar Akhlak, menjelaskan, kesetiaan pun mestinya ditunaikan seorang anak terhadap ayah dan ibunya. Caranya dengan berbakti kepada keduanya.
Bila mereka telah meninggal dunia, maka si anak melakukannya dengan mendoakan ayah dan ibunya, meminta ampunan untuk mereka, melaksanakan janjinya, menyambungkan silaturahim dengan para sahabatnya, dan menghormati teman-temannya.