Oleh: Imam Nawawi
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di dalam Alquran surah al-Mulk [67] ayat 13-14 Allah Taala berfirman, "Dan rahasiakanlah perkataanmu atau lahirkanlah, sesungguhnya Dia Maha Mengetahui segala isi sanubari. Apakah Allah Yang Menciptakan itu tidak mengetahui? Dan Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui."
Memaknai ayat di atas, Imam Ghazali dalam karyanya Ihya' Ulumuddin menegaskan bahwa ayat tersebut mengharuskan setiap diri bersikap waspada dalam menjaga pembicaraan, perbuatan, niat atau kehendak jiwa.
Manusia boleh saja tidak paham maksud dari pembicaraan, perbuatan, dan niat seseorang. Tetapi, Allah Taala sangat mengetahui tujuan dan arah setiap perbuatan manusia. Dan, tentu saja setiap yang tebersit di dalam hati, lebih-lebih yang mewujud dalam perbuatan pasti tercatat rapi dalam kuasa-Nya yang sudah barang tentu juga telah pasti balasan yang adil dari-Nya.
Dalam satu kesempatan, Rasulullah menjelaskan bahwa posisi pembicaraan bisa menentukan kedudukan seseorang di akhirat kelak. Suatu hari seorang laki-laki datang kepada Rasulullah seraya berkata, "Ya Rasulullah! Sungguh si fulanah itu terkenal banyak shalat, puasa, dan sedekahnya. Akan tetapi juga terkenal jahat lidahnya terhadap tetangga-tetangganya." Maka berkatalah Rasulullah SAW kepadanya, "Sungguh ia termasuk ahli neraka."
Kemudian laki-laki itu berkata lagi, "Kalau si fulanah yang satu lagi terkenal sedikit shalat, puasa dan sedekahnya, akan tetapi ia tidak pernah menyakiti tetangganya." Maka Rasulullah SAW berkata, "Sungguh ia termasuk ahli surga." (HR Muslim).
Oleh karena itu, Ibn Qayyim al-Jauziyah dalam kitabnya Ad-Daa' wa Ad-Dawa memberi nasihat agar sebelum diri berbicara hendaklah menimbang lebih dahulu, apakah di dalamnya terdapat manfaat dan faedah ataukah tidak. Jika tidak, tahanlah pembicaraan itu. Jika mengandung kemaslahatan, dilihat lagi, apakah ada kalimat yang lebih baik atau tidak. Dengan begitu, kalimat yag bermanfaat tadi tidak tersia-siakan akibat kalimat yang tidak jelas.
Jika sedemikian ketat Islam mengatur masalah pembicaraan maka lebih-lebih perbuatan. Rasulullah bersabda, "Di antara kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan perkara yang bukan urusannya." (HR Tirmidzi).
Untuk itu, pastikanlah bahwa setiap langkah yang dilakukan adalah jalan menuju ridha-Nya, termasuk dalam hal amal perbuatan. Jangan sampai anugerah berupa waktu, kesehatan, dan kekuatan digunakan untuk melakukan dosa dan keburukan.
Demikian pula dengan niat atau kehendak jiwa. Waspadalah, sungguh inilah yang pertama kali menentukan baik buruknya pembicaraan dan perbuatan yang paling Allah perhatikan. "Dia mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang tersembunyi di dalam dada" (QS al-Mu'min [40]: 19).
Dengan demikian, tidak ada celah bagi setiap jiwa untuk tidak waspada dalam niat, pembicaraan, dan perbuatan. Imam Ghazali dalam Ihya' Ulumuddin meriwayatkan bahwa al-Manshur bin al-Mu'taz tidak berbicara setelah shalat Isya selama 40 tahun. Ar-Rabi' bin Khaitsam tidak berbicara tentang dunia selama 20 tahun dan selalu mencatat ucapannya sepanjang hari.