REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Elektornifikasi transaksi menjadi non tunai merupakan keniscayaan dan industri keuangan berbasis teknologi (fintech) terutama Islamic fintech membawa gaya baru bagi keuangan Indonesia. Sayangnya, belum banyak pengusaha Muslim yang menggarap lahan ini.
Dalam Tasyakur Peluncuran Departemen Ilmu Ekonomi Syariah di IPB Convention Center, Selasa (16/5), Komisaris Utama sekaligus pemilik PT Veritra Sentosa Internasional (Treni) Ustadz Yusuf Mansur menjelaskan, kalau bicara ekonomi Indonesia, kebanyakan selalu yang biasa-biasa saja. Padahal, ada gaya baru buat ekonomi dan keuangan Indonesia, fintech dan bergeraknya masyarakat menuju masyarakat non tunai. Produk Treni, Paytren yang saat ini valuasinya diprediksi sekitar Rp 4 triliun, diakui Ustadz Yusuf, dibangun karena keajaiban dari Allah SWT.
Kalau pemerintah membagi bantuan tunai ke bawah tanpa manajemen agar uang sampai tepat sasaran, bisa jadi masalah. ''Paytren alhamdulillah itu paduan teknologi kartu gesek dan tempel dengan ponsel pintar,'' kata Ustadz Yusuf.
Paytren memungkinkan aneka pembayaran hanya dengan memindai QR code saja. Bila pembayaran biasanya antre ke kasir, dengan teknologi baru Paytren memungkinkan pembayaran dengan memindai barcode di ponsel tanpa pembeli antre ke kasir.
Pemerintah pusing membangun masyarakat non tunai. Sementara Parytren sendiri digerakkan individu. Ia menekankan agar siapapun tak meremehkan jumlah transaksi harian masyarakat.
Paytren merupakan aplikasi ponsel untuk aneka pembayaran non tunai. Ustadz Yusuf menyadari transaksi adalah data. Dengan membuat Payten, Ustadz Yusuf ingin membangun 'sekoci'. Nyaris tak ada industri fintech yang tidak digarap asing dan mereka sudah masuk ke Indonesia.
Sayangnya, banyak transaksi di berbagai institusi belum terintegrasi dan dielektronifikasi. Di sisi lain banyak perusahaan rintisan (startup) mengeruk pengguna baru dengan membanting harga produk. ''Itu bakar duit. Kalau sudah begitu repot kita, tidak ada asas keadilan karena harga dibentuk dengan tidak masuk akal. Di sana peran pemerintah,'' ungkap Ustadz Yusuf.
Fintech hanya soal kebiasaan. Kalau sudah kenal, akan cinta dengan fintech. Startup dan fintech bukan mainan tapi industri masa depan. ''Anak-anak muda belajar serius, jangan kebanyakan main dan nongkrong. Jangan sampai kita tambah terlambat,'' kata Ustadz Yusuf.
Ustadz Yusuf melihat, ada 'penyakit' di anak muda. Begitu startup mereka yang dibiayai pemerintah sukses, mereka mencari angel investor. Ia bersyukur, atas karunia Allah, ia tidak tidak melepas Paytren saat sudah ada yang menawarkan Rp 4 triliun. ''Saya bilang, saya pengen valuasi Rp 20 triliun. Dia bilang itu bisa kalau penguna Paytren sudah satu miliar orang. Saya bilang, saya akan ke sana insya Allah,'' ungkap Ustadz Yusuf.
Paytren sendiri bukan tanpa hambatan, ada bahkan yang mengharamkan. Padahal syariah sangat luas. Memenuhi hajat orang banyak itu bagian syariat.
Kepada umat Islam, ia mengajak, untuk memilih bisnis saudara sendiri karena uangnya untuk kebaikan dan berputar di kebaikan. Paytren bahkan membuat revolusi dengan hanya memungut biaya Rp 6.000 untuk berapapun dana yang para TKI transfer menggunakan Paytren. Ia agak khawatir dengan fintech karena regulasinya belum siap. Tapi, itu bisa segera dikejar.