Senin 29 May 2017 11:56 WIB
Sejarah Ramadhan

Ramadhan pada Masa Pra-Islam

Rep: Hasanul Rizqa/ Red: Agung Sasongko
Ramadhan
Ramadhan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Umat Islam sedunia menyambut kedatangan bulan suci Ramadhan. Secara kebahasaan, ramadhan berasal dari kata ramadhanat atau armidha. Dalam buku /Misteri Bulan Ramadhan karya Yusuf Burhanudin, seorang pakar bahasa Ibnu Mandzur (630-711 H) menjelaskan bahwa asal kata ramadhan adalah al-ramadh yang berarti panas batu akibat sengatan matahari. Riwayat lain menyebutkan, nama bulan tersebut berasal dari kata bahasa Arab ramidha yang berarti keringnya mulut orang yang berpuasa akibat haus dan dahaga.

Menurut buku Ensiklopedi Islam, orang-orang Arab memberikan nama ramadhan bagi bulan kesembilan dalam penanggalan Hijriyah lantaran pada masa tersebut padang pasir sangat panas karena sinar matahari. Penamaan ini merupakan tradisi bangsa Arab yang senang memerhatikan fenomena alam untuk menandakan suatu wilayah atau keadaan.

Contoh lainnya terkait penamaan tahun. Bangsa Arab pra-Islam mengandalkan memori kolektif tentang suatu peristiwa penting untuk menamakan suatu tahun. Misalnya, Tahun Gajah, yang di dalamnya Rasulullah SAW lahir. Peristiwa bersejarah itu ketika pasukan Abrahah hendak meruntuhkan Ka'bah, tetapi gagal.

Teriknya sengatan matahari bukan hanya terkait penamaan bulan Ramadhan. Dalam sebuah hadisnya, Rasulullah SAW bersabda, Dinamakan bulan Ramadhan karena ia cenderung membakar dosa-dosa. Akan tetapi, nama ramadhan belum berlaku luas ketika masa jahiliyah dan mula-mula datangnya Islam. Buku Rahasia Puasa Ramadhan karya Yasin al-Jibouri dan Mirza Javad memaparkan, al-Midmar menjadi nama bulan tersebut. Al-Midmar bermakna bulan yang menghancurkan ekses kejahatan dan dosa yang membebani tubuh manusia. Dengan demikian, pada bulan ini manusia berkesempatan membersihkan diri.

Masih menurut Jibouri dan Javad, selama masa kehidupan Rasulullah SAW, Ramadhan juga biasa disebut sebagai al-Marzuuq. Sebab, pada bulan tersebut orang-orang terbiasa dengan persediaan makanan dan minuman yang lebih dari cukup. Ini merupakan salah satu bentuk nikmat Allah SWT untuk para hamba-Nya.

Namun, hanya orang-orang tertentu di zaman jahiliyah yang menyadari hikmah di balik keberlimpahan itu. Bulan al-Marzuuq lebih ditekankan sebagai saat untuk menggiatkan perniagaan. Belum terdapat riwayat yang menyebutkan adanya tradisi berpuasa pada bulan itu sebelum Islam datang.

Akan tetapi, bangsa Arab jahiliyah memiliki tradisi hari raya. Sebagai contoh, penduduk Yastrib (Madinah) sebelum kedatangan risalah Islam telah memberlakukan dua hari raya, yakni Nairuz dan Mihrajan. Nairuz berasal dari meniru-niru tradisi Persia. Demikian pula dengan Mihrajan, yang berasal dari kata-kata bahasa Persia, yakni mihr yang berarti 'matahari' dan jan 'cinta'.

Baik Nairuz maupun Mihrajan menandakan dominasi kebudayaan Imperium Persia bagi warga Yastrib. Mereka pun merayakan kedua hari tersebut secara meriah setiap tahunnya.

Begitu Islam datang, penduduk Madinah menerima Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha sebagai pengganti Nairuz dan Mihrajan. Itu sesuai dengan hadis yang menyebutkan sabda Nabi Muhammad SAW, Sesungguhnya setiap bangsa pasti mempunyai hari raya, dan Hari Raya Idul Adha dan Hari Raya Idul Fitri merupakan hari raya kita. (HR Bukhari).

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement