Selasa 06 Jun 2017 04:20 WIB

PM Inggris Kritik Google, Facebook, dan Twitter

Rep: Fuji E Permana/ Red: Nidia Zuraya
PM Inggris Theresa May berpidato terkait insiden van teror di Jembatan London di depan kediamannya di Downing Street, Ahad (4/6).
Foto: EPA
PM Inggris Theresa May berpidato terkait insiden van teror di Jembatan London di depan kediamannya di Downing Street, Ahad (4/6).

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON – Selepas aksi terorisme yang terjadi di London, Inggris Raya, pada Sabtu (3/6) lalu, pemerintah Inggris Raya mengkritik kinerja perusahaan-perusahaan internet.

Sebagaimana yang dilaporkan BBC pada Senin (5/6), Perdana Menteri (PM) Inggris, Theresa May telah meminta korporasi besar internet untuk memblokir jalur komunikasi ekstremisme. Menurutnya, internet masih menjadi ajang bagi kaum ekstremis untuk menyebarkan ideologi kekerasan.

Terkait permintaan PM Inggris tersebut, Google, Facebook dan Twitter menyampaikan bahwa mereka telah melakukan banyak hal untuk menangkal penyebaran paham ekstremisme dan terorisme.

Google, misalnya, telah menghabiskan ratusan juta poundsterling untuk mengatasi masalah penyebaran paham ekstremisme dan terorisme. Hal serupa juga dilakukan Facebook dan Twitter. Mereka terus berupaya keras mengikis jaringan teroris di dunia maya yang memakai jasa Facebook dan Twitter.

Untuk diketahui, Google memiliki situs berbagi video seperti YouTube. Sementara itu, Facebook juga memiliki aplikasi WhatsApp. Twitter juga dinilai sebagai media sosial yang banyak dipakai oleh sejumlah akun pendukung terorisme.

Pada kesempatan lain, Menteri Kebudayaan Inggris Raya, Karen Bradley juga telah mengimbau perusahaan-perusahaan internet untuk membasmi konten-konten pemantik aksi ekstremisme. “Kita tahu upaya ini bisa terwujud dan kita juga paham, perusahaan-perusahaan internet juga ingin (mewujudkannya),” kata Bradley.

Kecanggihan teknologi juga ternyata dapat dimanfaatkan para pelaku terorisme. Misalnya, fasilitas enskripsi end-to-end dalam WhatsApp. Fasilitas tersebut membuat pesan-pesan atau percakapan dalam WhatsApp tidak bisa dibaca pihak ketiga.

Hal ini di satu sisi menjamin privasi pengguna WhatsApp. Namun, enskripsi seperti itu membuat pendukung ekstremisme merasa aman berkomunikasi satu sama lain tanpa ketahuan aparat penegak hukum.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement