REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Majelis Ulama Indonesia (MUI) belum lama ini menerbitkan fatwa Nomor 24 tahun 2017 yang dikenal dengan fatwa "Muamalah Medsosiah". Dalam fatwa tersebut, MUI tidak hanya menjelaskan tentang halal dan haramnya konten di media sosial tapi juga menyertakan pedoman yang salah satunya adalah tabayun atau klarifikasi.
Sekretaris Komisi Fatwa MUI, Asrorun Niam Soleh menjelaskan bahwa dalam fatwa yang dikeluarkan sebelum-sebelumnya MUI selalu membahas tentang halal haram. Tapi dalam fatwa Muamalah Medsosiah kali ini MUI juga menyertakan pedoman yang bersifat sangat praktis.
"Yang sering kali lazim dilakukan tapi tanpa disadari bahwa itu ternyata suatu kesalahan. Misalnya tabayyun atau klarifikasi. Umumnya tahu dapat informasi harus tabayun dulu. Tapi tidak dilakukan step-nya," ujar Asrorun di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta Pusat, Jumat (9/6).
Ia menuturkan, setidaknya ada tiga hal yang perlu diperhatikan pengguna medsos ketika menerima sebuah informasi di media sosial. Pertama, adalah harus memastikan dan melihat informasi tersebut didasari kredibilitas sumbernya.
Menurut dia, selalu ada kemungkinan benar dan salah, sementara yang benar pun belum tentu boleh disebarkan.
"Kalau dalam istilah hadis itu lihat sanad-nya. Sama kalau melihat media atau orang, ini bisa jadi salah satu pintu masuknya informasi. Tapi kalau ketahuan ini media abal-abal dan memang kerjanya untuk kepentingan provokasi, maka riwayatnya nggak layak dipercaya," ucap dia.
Kedua, lanjut dia, pengguna medsos juga harus mengetahui isi kontennya dan wajib melakukan validasi atas kebenaran informasi tersebut. Pengguna media sosial juga harus memahami maksud dari penyebaran konten tersebut. "Korbannya itu tidak mengenal usia dan golongan. Bahkan media yang kredibel juga pernah menyebarkan informasi hoax yang akhirnya belakangan minta maaf," ucap dia.
Terakhir, kata dia, dalam bertabayun terhadap informasi yang beredar juga harus memperhatikan konteks ruang dan waktunya. Pasalnya, hal itu dapat memicu kecemasan publik dan keresahan terhadap situasi yang terjadi pada masa itu. "Misalnya ada kejadian banjir terus kita share foto ada banjir tinggi banyak korban. Tapi ditempatkan dalam ruang dan waktu yang salah sehingga seakan-akan terjadi hari ini," kata Ketua KPAI tersebut.