REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Meski fungsi utamanya untuk beribadah, nyatanya masjid tak hanya digunakan untuk keperluan itu. Pada masa penjajahan, misalnya, banyak masjid yang digunakan sebagai mar kas dan tempat pertemuan untuk menyusun strategi perang. Misalnya, Masjid Suro yang dibangun pada 1889 di Palembang. Pada masa penjajahan Jepang, Masjid Suro menjadi markas pemuda yang sedang memperjuangkan kemerdekaan.
“Masjid ini juga mereka jadikan sebagai tempat menyimpan amunisi dan menyelenggarakan rapat perencanaan gerakan untuk melawan penjajah,” ujar peneliti Masjid Suro, Muhammad Kasim Abdurrahman.
Pada masa pendudukan Belanda, Masjid Suro mendapat legalisasi dari Pemerintah Belanda untuk me nyelenggarakan berbagai aktivitas ke agamaan, seperti shalat Jumat dan perayaan hari besar Islam. Syaratnya, pemuka agama tidak memengaruhi masyarakat dalam ceramahnya untuk melawan kolonial Belanda.
Hal yang sama juga terjadi di Masjid Raya Ahmadsyah, Tanjung Balai, Medan. Masjid ini merupakan benda peninggalan bersejarah dari masa Kesultanan Asahan (1620-1946). Pada masa ataupun pasca-Kesultanan Asahan, masjid ini menjadi pusat ber bagai kegiatan yang berkaitan dengan keagamaan, sosial, maupun budaya masyarakat Islam di Tanjung Balai.
“Masjid Raya Ahmadsyah juga me ru pakan tempat strategis sebagai pusat tumbuh dan berkembangnya ke budayaan Melayu,” ujar peneliti Masjid Tanjung Balai Novita Siswa yanti.
Masjid sebagai sarana penyiaran agama Islam juga menjadi fungsi utama masjid kuno Lawang Kidul dan Masjid Ogan di Palembang. Masjid-masjid tersebut dibangun sekitar 1892 ini oleh Kiai Murogan. Dia menggunakan kedua masjid itu sebagai tempat mengajarkan agama Islam kepada penduduk di sekitar dua sungai, yaitu Sungai Musi dan Sungai Ogan.