REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Corak arsitektur masjid kuno di Indonesia banyak dipengaruhi oleh khazanah Hindu-Buddha. Sejarawan NJ Krom dalam penelitian yang dilakukan pada 1920 me nunjukkan, arsi te ktur masjid me rupakan per alih an dari gaya bangunan rumah ibadah agama Hindu Majapahit yang berbentuk candi. Ia mencontohkan, Masjid Menara Kudus yang dibangun pa da abad ke-16 Masehi.
Penelitian dilanjutkan oleh JE Jasper pada 1922 yang meng khususkan pada seni ukir dan seni bangunan. Dia juga berpendapat, seni ukir dan seni bangunan pa da Masjid Menara Kudus meru pakan seni bangunan Jawa Hindu Majapahit. Kemudian pada 1934, Steinman melakukan kajian pada ornamen yang terdapat di Masjid Mantingan dan Makam Ratu Kalinyamat, serta melakukan ka jian perbandingan dengan orna men yang terdapat di candi-candi.
Penelitian tentang masjid kuno di Indonesia selanjutnya dilakukan oleh GF Pijper pada 1947 yang menyimpulkan bahwa masjid kuno di Indonesia pada umumnya tidak mempunyai menara. Kalaupun sekarang sejumlah masjid kuno yang masih berdiri memiliki me nara, bangunan tersebut tadinya bukanlah dimaksudkan sebagai menara, melainkan bangunan dari zaman Hindu sebelum Islam.
Sejarah juga mencatat, dalam sejarah Islam di Indonesia, para wali tidak serta-merta mengadakan perubahan cepat, dengan menggantikan nilai-nilai budaya Jawa yang sudah berakar ratusan tahun dengan nilai-nilai budaya Islam yang masih baru dikenal. Karena itu, para wali berusaha memasukkan ajaran Islam ke dalam kesenian Jawa, seperti dalam cerita pewayangan.
Demikian juga, dalam mem bangun masjid. Para wali tidak mau menerapkan bentuk dan pola masjid yang ada di negeri Islam. Karena itu, tidak ada ben tuk masjid kuno yang dibangun dengan berkubah dan bermenara tinggi menjulang layaknya di Arab.
Mereka justru membangun masjid yang mirip bangunan Hindu atau menggunakan tempat ibadah umat Hindu yang telah ditinggalkan sebagai masjid tanpa perubahan apa pun. Selain itu, masjid ber sejarah di Indonesia terbuat dari bahan yang kuat dan tidak mudah lapuk.