REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Markas Besar TNI Angkatan Udara (Mabes AU) menunjuk pengacara untuk memberikan pendampingan hukum, terutama terhadap beberapa anggotanya yang terseret dalam kasus pembelian helikopter AW-101. Hal itu menyusul dilakukannya penyelidikan dan penyidikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Puspom TNI dalam kasus kasus tersebut.
Penunjukan itu berdasarkan disposisi Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) Marsekal Hadi Tjahjanto di Jakarta pada 19 Juni 2017 tentang Penggunaan Pengacara dari Luar Kedinasan. Disposisi itu secara resmi memilih kantor hukum pengacara nasional 'Paparang-Batubara & Partner', yaitu Dr Santrawan T Paparang dan Haposan Paulus Batubara, sebagai kuasa hukum anggota TNI AU.
Dalam siaran pers, Jumat (23/6), Santrawan T Paparang dan Haposan Paulus Batubara menyatakan penunjukan mereka sebagai kuasa hukum tentu merupakan suatu kebanggaan dan kehormatan karena menyangkut institusi militer TNI AU.
Paparang mengatakan, ia pada dasarnya ingin mendudukkan persoalan itu pada porsi hukum di tengah banyaknya opini yang beredar di masyarakat setelah pelaporan oleh Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo ke KPK.
Dalam waktu dekat, Paparang dan Haposan akan menggelar konferensi pers terkait kasus itu agar masyarakat mengetahui secara jelas duduk perkaranya. "Kita ingin kasus ini terang-benderang, sehingga tidak ada distorsi informasi," papar keduanya.
Sebelumnya, KPK memproses laporan Panglima TNI terkait pengadaan helikopter AW-101 yang dibeli Mabes AU dari sebuah perusahaan di Inggris. Setelah dilakukan pemeriksaan antara penyidik KPK dan POM TNI, akhirnya ditetapkan empat anggota TNI AU sebagai tersangka. Mereka adalah Marsekal Pertama FA selaku pejabat pembuat komitmen (PPK), Kepala Unit Layanan Pengadaan (ULP) TNI AU, kolonel Kal FTS SE, Letkol Adm WW selaku pemegang kas, dan Pembantu Letnan Dua (Pelda) SS yang menyalurkan dana pada pihak tertentu.