REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Jamaica Muslim Centre, New York City, Amerika Serikat, Shamsi Ali menyatakan Indonesia memiliki kredibilitas dan potensi menjadi model bagi dunia dalam hal keberagaman dan toleransi.
Menurut Ali, toleransi telah mendarah daging dalam kehidupan masyarakat Indonesia, dan sejarah pun mencatat keberagaman itu mewujud dalam keberadaan Candi Borobudur dan Prambanan yang merupakan peninggalan Budha dan Hindu, di negara yang kini berpenduduk Muslim terbesar di dunia.
"Kita perlu menampilkan apa yang baik dari bangsa ini bahwa kita bangsa Muslim terbesar tetapi tetap menjunjung nilai-nilai demokrasi," ujarnya usai mengisi salah satu rangkaian diskusi Kongres Diaspora Indonesia ke-4 di Jakarta, Sabtu (1/7).
Meskipun hingga kini bangsa Indonesia masih menghadapi berbagai dinamika dalam kerukunan dan hubungan antaragama, Imam Besar Masjid Al-Hikmah di New York itu yakin optimisme yang terus dibangun untuk mengenyam keberagaman yang ada akan menjadikan bangsa Indonesia besar pada masa depan.
Langkah awal untuk memelihara kedamaian dalam keberagaman yakni dengan menyadari keberagaman baik itu warna kulit, bahasa, dan agama merupakan hukum alam atau sunnatullah. Kesediaan untuk bisa menerima dan menghormati keberagaman, menurut Ali, merupakan bagian dari keimanan seseorang.
Baca: Anies: Diaspora Akomodasi Kepentingan Indonesia di Dunia
Selain itu, semangat kerukunan antarumat beragama juga harus dibangun melalui pendekatan dan dialog agar antara kelompok mayoritas maupun minoritas tidak merasa saling menjadi musuh satu sama lain.
"Misalnya seperti kami Muslim minoritas di Amerika, kami juga melakukan pendekatan dengan umat Yahudi dan Nasrani sehingga mereka ada confidence (kepercayaan) kami ini bukan enemy (musuh)," kata ulama yang telah lebih dari 30 tahun tinggal di Negeri Paman Sam itu.
Pendapat yang sama diungkapkan oleh Direktur Dialog Antaragama Vatikan untuk Asia Pasifik, Romo Markus Solo Kewuta SVD yang meyakini Indonesia merupakan negara majemuk yang mampu menjaga perdamaian. Alasan itu pula yang membuat pria asal Flores, Nusa Tenggara Timur, itu terpilih menjadi salah satu penasihat ahli Paus Benediktus XVI 10 tahun yang lalu.
"Pada saat itu Paus mengatakan kehadiran saya di Vatikan karena mereka merasa tertarik dengan Indonesia, terutama setelah melihat orang dari berbagai agama dan latar belakang bisa hidup berdampingan dengan damai," kata dia.
Romo Markus percaya bangsa Indonesia adalah bangsa yang jauh di dalam hatinya sangat mencintai kerukunan dan rasa saling menghormati satu sama lain, atau dalam bahasa Jawa dikenal dengan istilah tepa selira.
"Kita ini bangsa yang sangat tepa selira. Semangat itu tidak pernah hilang, kita hanya perlu menghidupkannya terus," ujarnya.