REPUBLIKA.CO.ID, PROBOLINGGO -- Harga garam di Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur, naik akibat persediaan garam di wilayah setempat menipis karena sejumlah petani garam mengalami gagal panen. "Beberapa petani mengalami gagal panen selama beberapa pekan terakhir karena cuaca ekstrem, sehingga musim kemarau terkadang masih turun hujan," kata Ketua Kelompok Tani Garam 'Kalibuntu Sejahtera I' Suparyono di Desa Kalibuntu, Kecamatan Kraksaan, Kabupaten Probolinggo, Kamis (6/7).
Menurutnya harga garam di wilayah setempat berkisar Rp 2.800 hingga Rp 4.000 per kilogram. Harga tersebut cukup tinggi selama setahun terakhir di Kabupaten Probolinggo. "Untuk menjadi garam, air laut itu harus BE (satuan usia air) 21, sedangkan berapa pun usia air laut saat di jemur di meja pengkristalan akan kembali menjadi BE 0, apabila terkena air hujan," katanya.
Kelompok Tani Kalibuntu Sejahtera I tersebut beruntung memiliki bunker atau ruang penyimpanan garam di ladang. Sehingga ketika cuaca mendung tanda akan hujan, maka pihaknya menyedot air yang sudah dijemur ke dalam bunker.
"Misalnya ketika hujan turun saat itu, usia air BE 16, kemudian kami masukkan bunker selama hujan turun dan keesokan harinya ketika terik matahari akan dikeluarkan lagi dengan BE tetap 16, sehingga kami tidak mengalami gagal panen," tuturnya.
Ia mengatakan banyaknya petani gagal panen menyebabkan persediaan garam yang minim. Sehingga membuat harga garam milik kelompok taninya ditawar tinggi oleh pedagang yakni sebesar Rp 2.800 per kilogram. "Jika dikirim ke luar daerah, seperti Kabupaten Banyuwangi, Lumajang dan Jember, maka harganya bisa mencapai Rp 4.000 per kilogram dan harga itu merupakan tertinggi sepanjang sejarah," katanya.
Suparyono menjelaskan harga jual garam tertinggi terakhir di Kabupaten Probolinggo yakni Rp 1.000 per kilogram pada tahun 2016. Mengenai kalkulasi break event point (BEP) atau titik aman penjualan petani garam kepada pedagang sebesar Rp 500 per kilogram.
"Jadi dengan harga sekarang, petani garam mendapatkan keuntungan berlipat-lipat, sehingga kami mendapatkan banyak keuntungan," kata warga Desa Kalibuntu yang menjadi petani garam puluhan tahun lalu.
Ia bersama petani garam di Kelompok Tani Garam Kalibuntu Sejahtera I menggunakan teknologi Geomembran atau menggunakan media alas plastik LDPE (Low Density Poly Ethylene), sehingga dengan metode itu, produksi garamnya lebih maksimal dibandingkan dengan metode tradisional menggunakan media tanah yang mudah terserap ke bawah.
"Produksi garam untuk media tanah biasanya menghasilkan sekitar 60 hingga 70 ton per hektare per musim panen. Sedangkan untuk teknologi Geomembran dapat menghasilkan hingga 120 ton per hektare per musim panen.