Senin 10 Jul 2017 16:57 WIB

MK Tegaskan Kemandirian KPU Gelar Pilkada

Rep: Santi Sophia/ Red: Ratna Puspita
Suasana di ruang sidang Mahkamah Konstitusi (MK).
Foto: Republika/Raisan Al Farisi
Suasana di ruang sidang Mahkamah Konstitusi (MK).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan kemandirian Komisi Pemilihan Umum (KPU) menggelar pemilihan kepala daerah (pilkada). MK mengabulkan sebagian gugatan KPU terkait aturan yang mengganggu kemandirian lembaga tersebut dalam penyelenggaraan pilkada.

Majelis Hakim Anwar Usman mengatakan Mahkamah mengabulkan sebagian permohonan yang diajukan komisioner KPU 2012/2017 terkait uji materi Pasal 9a UU Nomor 10 2016 tentang Pilkada. "MK mengabulkan untuk sebagian," kata dia dalam sidang di Gedung MK, Senin (10/7).

Pasal 9 huruf a UU Pilkada menyebutkan “Tugas dan wewenang KPU dalam penyelenggaraan Pemilihan meliputi : a. menyusun dan menetapkan Peraturan KPU dan pedoman teknis untuk setiap tahapan Pemilihan setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah dalam forum rapat dengar pendapat yang keputusannya bersifat mengikat".

MK menyatakan frasa "yang keputusannya bersifat mengikat" dalam aturan itu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum. Mahkamah menimbang frasa itu mereduksi kemandirian KPU dan sekaligus tidak memberi kepastian hukum.

Mahkamah menyebutkan ada beberapa alasan dalam hubungan ini. Pertama, bukan tidak mungkin bahwa dalam forum dengar pendapat dimaksud tidak tercapai keputusan yang bulat atau bahkan tidak ada kesimpulan sama sekali. Dalam kondisi seperti itu, frasa “yang keputusannya bersifat mengikat” telah menyandera KPU dalam melaksanakan kewenangannya untuk merumuskan peraturan KPU dan pedoman teknis. Hal itu dapat mengancam agenda ketatanegaraan.

Kedua, frasa tersebut menjadi berlebihan. Sebab, Aswanto menerangkan, tanpa frasa itu pun jika konsultasi dalam forum dengar pendapat tercapai kesepakatan maka KPU akan melaksanakannya.

Ketiga, frasa “yang keputusannya bersifat mengikat” telah mengaburkan, bahkan menghilangkan, makna 'konsultasi' dalam pasal tersebut. Sebagai forum konsultasi, KPU tidak boleh tersandera dalam pembuatan peraturan dan pedoman teknis kalau tidak terdapat kesepakatan.

Sebab, kemandirian KPU dijamin oleh UUD 1945. "Lembaga inilah yang bertanggung jawab untuk menjamin bahwa pemilu dan pemilihan kepala daerah terlaksana secara demokratis," kata Aswanto.

Namun, MK menolak sebagian permohonan KPU terkait denga frasa "berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah dalam forum rapat dengar pendapat" dalam pasal yang sama. Mahkamah menimbang ketentuan yang mengharuskan KPU berkonsultasi dengan DPR dan pemerintah dalam setiap tahapan pilkada tidak bertentangan dengan prinsip kemandirian KPU.

"Sebab konsultasi demikian, menurut penalaran yang wajar, dibutuhkan bagi pelaksanaan fungsi KPU," kata Anwar.

Mahkamah menerangkan konsultasi menjadi kebutuhan karena KPU perlu mendengarkan pendapat dari DPR dan pemerintah dalam membuat peraturan yang merupakan turunan dari Undang-undang. Sebab, DPR dan pemerintah yang melahirkan undang-undang.

"Namun, dalam kaitan ini penting ditekankan bahwa kedudukan KPU dan pembentuk undang- undang dalam konsultasi di forum dengar pendapat itu adalah setara," ujar Anwar.

KPU mengugat Pasal 9 huruf a UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pilkada karena aturan itu dianggap menganggu kemandirian KPU. Padahal, Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 mengamanatkan kemandrian KPU. UUD 1945 menyebutkan: ‘Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri’.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement